UPAYA ASEAN DALAM MENANGGULANGI KEJAHATAN TRANSNASIONAL DI KAWASAN ASIA TENGGARA
Maryadi, Community of ASEAN Studies
Transnational Organized Crime has been serious problem for most of the 20th century, but it has only recently been recognized as a threat to world order. This criminality undermines the integrity of individual countries, but it not yet e threat to the nation-state. Failure to develop viable, coordinated international policies in the face of ever-growing transnational criminality, however, may undermine the nation-state in the 21st century. (Louise I. Shelley. 1995)
The struggle against organized or transnational crimes will be the defining security concern
of the twenty-first century
(Mark Galeotti, 2001 )
Pendahuluan
Komentar Shelley dan Mark diatas memberikan sinyal kepada aktor internasional khususnya negara untuk bersiap menghadapi pelbagai kejahatan transnasional yang semakin “agresif” di abad 2I ini. Kejahatan transnasional (transnational Crimes) dengan segala manifestasinya berusaha membangun jejaring disegala pojok bumi. Menghadapi ancaman ini kerjasama internasional adalah sebuah keniscayaan. Tak terkecuali di tingkat regional. Organisasi yang mewadahi kerjasama regional-pun berbondong-bondong membuat kesepakatan dan komitmen baru guna mengantispasi, menghalangi dan memerangi kejahatan yang melintas batas yuridiksi ini. Sebut saja kerjasama regional di Asia Tenggara, ASEAN. Sebagai respon maraknya kejahatan transnasional, sejak tahun 1995 ASEAN telah mengadakan rangkaian pertemuan yang mencapai titik kulminasi dengan disepakatinya ASEAN Security Community 2004 di Vientien, Laos bulan Oktober tahun lalu. Tidak dapat dipungkiri bahwa tindak kejahatan transnasional kini semakin ektensif. Teror yang dilakukan oleh kelompok tertentu,[1] semakin mengancam stabilitas keamanan ASEAN.
Ancaman yang datang bukan dalam bentuk tradisional, akan tetapi lebih bersifat abstrak dan sulit diprediksi. Bom Bali (12 Oktober 2002), bom Hotel JW Mariot (2002) Kedutaan Australia (9 September 2003) dan terakhir bom di Tentena, Ambon (28 Mei 2005) membangunkan kesadaran baru betapa dahsyatnya ancaman ini. Tidak hanya di Indonesia, ancaman teror bom juga dialami oleh negara-negara ASEAN lainnya, seperti Filipina, Malaysia dan Singapura. Hal ini merupakan indikator semakin nyata dan meluasnya ancaman yang berdimensi internasional ini. Perdagangan manusia dan obat terlarang (drug and human trafficking), pencucian uang (money laundering), perdagangan kayu ilegal (Ilegal Logging), penyelundupan senjata (arms smuggling) perompakan di jalur laut strategis merupakan ancaman dalam bentuknya yang lain[2]. Permasalahan semakin rumit manakala muncul kejahatan lintas negara yang menggunakan sistem teknologi komunikasi dan informasi seperti penipuan kartu kredit (credit card fraud), pemalsuan produk (product counterfeiting), serta pemalsuan atau kecurangan dokumen-dokumen perjalanan (fraudulent travel documents)[3]. Sebagai akibatnya pertumbuhan ekonomi dan stabilitas keamanam kawasan Asia Tenggara khususnya negara-negara yang tergabung dalam ASEAN mengalami hambatan. Oleh Karena itu antisipasi dengan mengedepankan kerjasama regional mutlak dilakukan.
Globalisasi Sebagai Stimulan Transnastional Crimes
Globalisasi Sebagai Stimulan Transnastional Crimes
Era globalisasi ditandai dengan munculnya teknologi informasi dan komunikasi yang memungkinkan interaksi individu antar negara makin intensif. Komunikasi dan pertukaran informasi bisa dengan cepat dilakukan. Munculnya teknologi informasi dan komunikasi disatu sisi “menyerdahanakan dan memuaskankan” kerja, baik individu maupun suatu organisasi.
Namun disisi lain juga menjadi instrumen bagi para pelaku kriminal untuk menaikkan intensitasnya operasinya baik pada tataran domestik maupun global seperti yang dikemukakan Thomas L. Friedman bahwa teknologi mendorong terjadinya globalisasi yang melibatkan integrasi global, bahkan lebih jauh menurutnya dunia seolah menjadi kampung global (global village)[4]. Dampak dari hubungan lintas batas dari globalisasi ini pada gilirannya mengakibatkan masyarakat, negara, dan pemerintah tidak mampu untuk memenuhi keamanan individu, pertumbuhan ekonomi, perlindungan sosial, bahkan hak-hak individu itu sendiri.
Kejahatan yang memiliki jaringan antar negara ini selanjutnya disebut kejahatan transnasional (transnational crime atau trasnational organized crime). Dalam definisi yang dikeluarkan Perserikatan bangsa-Bangsa (PBB) transnational crime diartikan sebagai suatu kejahatan yang memiliki dampak langsung maupun tidak langsung dengan melibatkan lebih dari satu negara, “as offences whose inception, prevention and/or direct or indirect effects involve more than one country”.[5] Ditambahkan Fulvio Attina bahwa kejahatan transnasional memiliki struktur hirarkis dalam melakukan tindakan-tindakan illegal, a crime committed by groups of people equipped with stable, generally hierarchical organization which perpetrate illegal actions, usually with violent means, in order to enrich themselves without consideration for international frontiers.[6]
Kejahatan yang melemahkan kredibiltas negara ini memiliki beragam bentuk. PBB mengidentifikasikan 18 bentuk kejahatan transnasional yakni: pencucian uang (Money Laundering) , terorism, pencurian seni dan objek budaya (theft of art and cultural object), pencurian kekayaan intelektual (theft of intellectual property), perdagangan senjata gelap (illicit traffict in arms), pembajakan pesawat terbang (aircraft hijacking), pembajakan di laut (sea piracy), penipuan asuransi (insurance fraud), kejahatan komputer (computer crime) kejahatan lingkungan (environmental crime), perdagangan manusia (trafficking in person), perdagangan anggota tubuh manusia (trade in human body part), perdagangan obat bius (illicit drug trafficking), kebangkrutan bank (Fraudulent Bankruptcy), bisnis illegal (infiltration of illegal bussines), korupsi dan penyogokan pejabat pemerintah (corruption and bribey of public officials), dan kejahatan yang dilakukan oleh kelompok terorganisir lainnya (and others offences commited by organized criminal group).[7] Alan Castle menyebutkan walaupun tidak menyeluruh, namun kejahatan transnasional menurutnya dapat dikelompokan sebagai berikut: money laundering, perdagangan gelap narkotika dan psikotrapika, penyelundupan senjata, penyelundupan bahan nuklir, penyelundupan manusia (anak dan wanita), penggelapan pajak, korupsi dan Terorisme.[8]
Sementara itu pada tahun 1997 dalam deklarasinya di Manila, Filipina, ASEAN sepakat menggolongkan kejahatan transnasional berupa: money laundering, terorisme, perdagangan obat terlarang, penyelundupan senjata, penyelundupan manusia dan pembajakan[9]. Dalam karakteristiknya kejahatan transnasional memiliki ciri khas tersendiri. Pada pertemuan internasional The World Ministerial Conference on Organized Crime yang diselenggarakan di Nepal tahun 1994 negara-negara peserta sepakat membagi kejahatan transnasional menjadi 6 karakteristik yakni[10]:
Ø Suatu organisasi yang melakukan kejahatan (group organization to commit crime)
Ø Memiliki jaringan hirarkis atau hubungan personal yang memberikan kewenangan pemimpinnya untuk mengendalikan kelompok tersebut (hierarchical links or personal relationship which permit leaders to control the group)
Ø Kekerasan, intimidasi, dan korupsi digunakan untuk mendapatkan keuntungan atau mengontrol daerah kekuasaan atau pasar (violence, intimidation, and corruption used to earn profit or control terotories or markets)
Ø Mencuci uang hasil perdagangan gelap baik yang berasal dari kegiatan kriminal dan disusupkan dalam kegiatan ekonomi yang sah (laundering of illicit proceeds both in furtherance of crominal activity and to infiltrate the legitimacy economy)
Ø Memperluas jaringan operasinya keluar negeri (the potential for expansion into any new activities and beyond national boerders)
Ø Bekerjasama dengan kelompok kejahatan transnasional terorganisir lainnya (cooperation with other organized transnational criminal group)
Nampaknya pembagian karakteristik diatas ditujukan tidak hanya kepada kelompok-kelompok yang menargetkan sasaran politik, akan tetapi pada kelompok-kelompok yang ingin meraih keuntungan ekonomi seperti kelompok mafia, kartel dan sebagainya. Bahkan Alan Castle mencontohkan Boryukudan di Jepang, gang triad di Hongkong, Mafia Sicilia, Cosa Nostra, kelompok kriminal Italia-Amerika, Russsian Mafiya, dan kelompok kriminal Nigeria adalah bagian dari jaringan transnational crime.[11]
Kejahatan transnasional memasuki fase baru dimana negara-negara tidak lagi dibatasi kedaulatan. Ia menemukan momentumnya saat negara-negara sedang sibuk dalam mengkonsolidasi kerjasama baik bilateral, regional, maupun internasional terkait tumbangnya salah satu pemegang nama negara adidaya, Uni Soviet. Sebenarnya sejak tahun 1996 McFarlane dan McLennan telah “berteriak lantang” bahwa kejahatan transnasional kini merupakan ancaman yang serius bagi stabilitas dan keamanan internasional, “Transnational crimes is now emerging as a serious in its own right to national and international security and stability”[12]. Sedangkan Ralf Emmers melanjutkan bahwa kejahatan transnasional tidak hanya mengancam negara akan tetapi juga kehidupan masyarakat sipil, “other forms of transnational crimes effects state and their societies”.[13]
Kejahatan yang memiliki jaringan antar negara ini selanjutnya disebut kejahatan transnasional (transnational crime atau trasnational organized crime). Dalam definisi yang dikeluarkan Perserikatan bangsa-Bangsa (PBB) transnational crime diartikan sebagai suatu kejahatan yang memiliki dampak langsung maupun tidak langsung dengan melibatkan lebih dari satu negara, “as offences whose inception, prevention and/or direct or indirect effects involve more than one country”.[5] Ditambahkan Fulvio Attina bahwa kejahatan transnasional memiliki struktur hirarkis dalam melakukan tindakan-tindakan illegal, a crime committed by groups of people equipped with stable, generally hierarchical organization which perpetrate illegal actions, usually with violent means, in order to enrich themselves without consideration for international frontiers.[6]
Kejahatan yang melemahkan kredibiltas negara ini memiliki beragam bentuk. PBB mengidentifikasikan 18 bentuk kejahatan transnasional yakni: pencucian uang (Money Laundering) , terorism, pencurian seni dan objek budaya (theft of art and cultural object), pencurian kekayaan intelektual (theft of intellectual property), perdagangan senjata gelap (illicit traffict in arms), pembajakan pesawat terbang (aircraft hijacking), pembajakan di laut (sea piracy), penipuan asuransi (insurance fraud), kejahatan komputer (computer crime) kejahatan lingkungan (environmental crime), perdagangan manusia (trafficking in person), perdagangan anggota tubuh manusia (trade in human body part), perdagangan obat bius (illicit drug trafficking), kebangkrutan bank (Fraudulent Bankruptcy), bisnis illegal (infiltration of illegal bussines), korupsi dan penyogokan pejabat pemerintah (corruption and bribey of public officials), dan kejahatan yang dilakukan oleh kelompok terorganisir lainnya (and others offences commited by organized criminal group).[7] Alan Castle menyebutkan walaupun tidak menyeluruh, namun kejahatan transnasional menurutnya dapat dikelompokan sebagai berikut: money laundering, perdagangan gelap narkotika dan psikotrapika, penyelundupan senjata, penyelundupan bahan nuklir, penyelundupan manusia (anak dan wanita), penggelapan pajak, korupsi dan Terorisme.[8]
Sementara itu pada tahun 1997 dalam deklarasinya di Manila, Filipina, ASEAN sepakat menggolongkan kejahatan transnasional berupa: money laundering, terorisme, perdagangan obat terlarang, penyelundupan senjata, penyelundupan manusia dan pembajakan[9]. Dalam karakteristiknya kejahatan transnasional memiliki ciri khas tersendiri. Pada pertemuan internasional The World Ministerial Conference on Organized Crime yang diselenggarakan di Nepal tahun 1994 negara-negara peserta sepakat membagi kejahatan transnasional menjadi 6 karakteristik yakni[10]:
Ø Suatu organisasi yang melakukan kejahatan (group organization to commit crime)
Ø Memiliki jaringan hirarkis atau hubungan personal yang memberikan kewenangan pemimpinnya untuk mengendalikan kelompok tersebut (hierarchical links or personal relationship which permit leaders to control the group)
Ø Kekerasan, intimidasi, dan korupsi digunakan untuk mendapatkan keuntungan atau mengontrol daerah kekuasaan atau pasar (violence, intimidation, and corruption used to earn profit or control terotories or markets)
Ø Mencuci uang hasil perdagangan gelap baik yang berasal dari kegiatan kriminal dan disusupkan dalam kegiatan ekonomi yang sah (laundering of illicit proceeds both in furtherance of crominal activity and to infiltrate the legitimacy economy)
Ø Memperluas jaringan operasinya keluar negeri (the potential for expansion into any new activities and beyond national boerders)
Ø Bekerjasama dengan kelompok kejahatan transnasional terorganisir lainnya (cooperation with other organized transnational criminal group)
Nampaknya pembagian karakteristik diatas ditujukan tidak hanya kepada kelompok-kelompok yang menargetkan sasaran politik, akan tetapi pada kelompok-kelompok yang ingin meraih keuntungan ekonomi seperti kelompok mafia, kartel dan sebagainya. Bahkan Alan Castle mencontohkan Boryukudan di Jepang, gang triad di Hongkong, Mafia Sicilia, Cosa Nostra, kelompok kriminal Italia-Amerika, Russsian Mafiya, dan kelompok kriminal Nigeria adalah bagian dari jaringan transnational crime.[11]
Kejahatan transnasional memasuki fase baru dimana negara-negara tidak lagi dibatasi kedaulatan. Ia menemukan momentumnya saat negara-negara sedang sibuk dalam mengkonsolidasi kerjasama baik bilateral, regional, maupun internasional terkait tumbangnya salah satu pemegang nama negara adidaya, Uni Soviet. Sebenarnya sejak tahun 1996 McFarlane dan McLennan telah “berteriak lantang” bahwa kejahatan transnasional kini merupakan ancaman yang serius bagi stabilitas dan keamanan internasional, “Transnational crimes is now emerging as a serious in its own right to national and international security and stability”[12]. Sedangkan Ralf Emmers melanjutkan bahwa kejahatan transnasional tidak hanya mengancam negara akan tetapi juga kehidupan masyarakat sipil, “other forms of transnational crimes effects state and their societies”.[13]
Kejahatan transnasional sebagaimana sifatnya yang merusak tatanan keamanan dan ekonomi suatu negara merupakan suatu aktifitas yang dilakukan aktor-aktor professional, terlatih dan memiliki keberanian dan loyalitas yang tinggi terhadap kelompok dan jaringan pasar internasional dan nasional, demikian dikatakan Jawahir Thontowi.[14] Ironisnya, dalam mengatasi kejahatan transnasional seringkali harus menghindari penggunaan cara-cara militer. Hal sangat bertentangan secara diametral dengan agenda keamanan selama ini yang biasanya direspons secara militeristik dalam mengatasi ancaman-ancaman yang dianggap merongrong kewibawaan negara. Uniknya penggunaan cara-cara non-militer sesuai dengan prinsip dan modalitas yang telah disepakati Association of Southeast Asia Nations (ASEAN) selama ini. Menurut Ralf Emmers sejak awal pendiriannya tanggal 8 Agustus 1976 negara-negara ASEAN menolak untuk mengadakan kerjasama militer.[15]
Memang, kesepakatan-kesepakatan yang dibuat ASEAN selanjutnya tidak satupun yang menunjukkan kerjasama militer, bahkan justeru berusaha membangun kawasan yang damai dengan menghindari perlombaan senjata dan penggunaan kekerasaan dalam menyelesaikan setiap konflik. Usaha tersebut tercermin dalam kesepakatan-kesepakatan seperti; Zone of Peace, Freedom and Nuetrality Declaration (1971), Declaration of ASEAN Concord (Bali Concord/ 1976), Treaty of Amity and Cooperation in Sotheast Asia (1976), ASEAN Declaration on South China Sea (1992), Treaty on the Southeast Asia Nueclear Weapon-Free Zone (1995). Bahkan ASEAN kini telah membangun mekanisme penyelesaian konflik secara damai dengan negara-negara luar kawasan dengan membuat ASEAN Regional Forum (1995).[16]
Perubahan Konstelasi Politik Internasional
Seiring berakhirnya perang dingin[17], antara dua kubu kekuatan dunia Amerika Serikat dan Uni Soviet (1989), politik internasional berubah kearah bentuk multipolar, dimana titik pusat kekuatan dunia tidak lagi bersumber di kedua negara, akan tetapi ter-centrifugal menjadi bagian-bagian yang berdiri sendiri, baik dalam kelompok (regional) maupun individu negara.
Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi mengartikan multipolar sebagai distribusi kekuatan yang lebih dari dua kutub pusat dalam sistem internasional[18]. Perubahan ini ditandai dengan kecenderungan negara-negara di dalam suatu kawasan menyatukan diri dalam organisasi regional. Uni Eropa sendiri kemudian meningkatkan kerjasamanya dalam bentuk yang lebih mengikat. Tak terkecuali dibelahan benua Afrika, penguatan regionalisme ini juga dirasakan dengan membentuk Uni Afrika., demikian pula halnya kawasan Timur Tengah (Uni Emirat Arab dan Liga Arab), dan belahan dunia lainnya.
ASEAN sendiri yang merupakan organisasi regional Asia Tenggara juga mengalami hal yang sama. Pasca perang dingi keanggotaan ASEAN bertambah. Negara-negara di seputar Asia Tenggara akhirnya berkeinginan untuk menggabungkan diri dalam wadah ASEAN. Negara-negara yang menyatakan diri untuk bergabung dalam ASEAN tersebut adalah Vietnam (28 Juli 1995), Laos dan Myanmar (23 Juli 1997), dan pada tanggal 3 April 1999 Kamboja memutuskan untuk masuk keanggotaan ASEAN. Dengan bergabungnya kelima negara tersebut kini ASEAN berpenduduk sekitar 500 juta orang, dengan luas wilayah 4,5 juta kilometer persegi, GDP total sebesar US$ 737 milyar, dan total perdagangan mencapai US$ 720 milyar.[19] Selain memberikan pengaruh pada peningkatan kerjasama dalam bidang ekonomi, politik, serta sosial budaya, hal ini juga memberikan implikasi terhadap stabilitas keamanan kawasan.
Ancaman keamanan pada tingkat internasional juga mengalami perubahan. Jika era perang dingin ancaman negara berbentuk tradisional, namun setelah perang dingin usai ancaman berubah kedalam bentuk non-tradisional. Walaupun demikian tidak berarti bahwa pola tradisional ini telah pupus. Pola tradisional mengacu pada konflik teritorial, perlombaan senjata (arms race), dan separatisme. Pengoptimalan kekuatan nasional menjadi ciri khas dalam menghadapi ancaman ini, terutama yang bersifat militeristik. Sementara pola non-tradisional adalah kelanjutan dari ancaman tradisional mengarah ancaman yang lebih ektensif yakni dengan melibatkan banyak negara. Ancaman ini berupa kejahatan transnasional yang mampu mengorganisir aktor individu atau kelompok dari berbagai negara. Lagi pula kerjasama aktor negara dalam tingkat internasional menjadi cara yang efektif untuk menekan dan memerangi ancaman ini.
Barry Buzan dan Ole Weaver dalam buku mereka berjudul Region and Power; the structure of international security telah meramalkan bahwa pada saatnya upaya pengamanan internal suatu negara tidak bisa dilakukan secara individual, melainkan dengan melibatkan negara lain disekitarnya. Ia juga menyebutkan fenomena ini sebagai masalah keamanan yang rumit (Security Complex). Lebih lanjut mereka juga menyepakati adanya terjadi perubahan bentuk ancaman sebelum dan sesudah Perang Dingin, “dalam era pasca perang dingin terjadi perubahan upaya ancaman keamanan dari bentuk yang mengacu pada sektor politik-militer kepada keterlibatan aktor-aktor internasional lainnya”[20].
Upaya ASEAN dalam Menanggulangi Transnational Crime
Untuk mengatasi ancaman tersebut para pemimpin negara anggota ASEAN mengadakan sejumlah pertemuan yang menghasilkan berbagai kesepakatan, dari komunike bersama hingga mengeluarkan deklarasi yang kesemuanya berisi tentang langkah-langkah yang diperlukan guna menindak kejahatan transnasional. Perhatian dari negara-negrara anggota ASEAN tercermin, ketika pertemuan tersebut tidak hanya dihadiri pada tingkat pejabat senior ataupun menteri, melainkan pada tingkat tinggi yakni kepala negara dan pemerintahan. Dalam penjelasan berikut ini penulis akan mengetengahkan hasil-hasil pertemuan yang telah disepakati oleh negara-negara ASEAN. Memang, jika diperhatikan hanya kejahatan terorisme yang mendapat perhatian khusus dengan membuat pertemuan yang membahas tentang terorisme saja, termasuk menyepakati mengambil tindakan atas individu dan kelompok yang memberikan dukungan keuangan kepada para teroris. ASEAN telah mengambil langkah-langkah khusus guna memerangi kejahatan ini seperti pada KTT ASEAN ke-7 pada 5 November 2001 di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, ASEAN Ministerial Meeting on Terrorism di Kuala Lumpur, 20-21 May 2002, serta beberapa deklarasi ASEAN dengan beberapa negara yang merupakan mitra dialog ASEAN.
Pada pertemuan tingkat Menteri Dalam Negeri masing-masing negara anggota ASEAN yang membahas tentang pemberantasan transnastional crime, 18-20 Desember 1997[21]. Dalam pertemuan tersebut menghasilkan deklarasi bersama tentang upaya pemberantasan semua bentuk kejahatan transnasional. Pertemuan tersebut diantaranya menyepakati pertukaran informasi aparat keamanan masing-masing negara. Pada pertemuan tersebut juga dibahas tentang pendirian sebuah badan yang akan mengkaji kemungkinan kerjasama regional ASEAN dalam mengefektifkan upaya pemberantasan kejahatan-kejahatan tersebut, termasuk kemungkinan dibuat suatu perjanjian ekstradisi antar negara anggota ASEAN. Seperti diketahui kendati organisasi ASEAN telah berusia lebih dari 30 tahun namun tidak seluruh anggota memiliki perjanjian ekstradisi. Memang Indonesia telah membuat perjanjian beberapa negara ASEAN lainnya seperti Malaysia dan Filipina, namun hingga kini Indonesia belum membuat hal yang sama dengan Singapura. Berbagai alasan penolakan dalam pembuatan perjanjian ekstradisi terkait dengan kepentingan nasional negara yang bersangkutan.
Harapan Indonesia untuk membuat perjanjian ektradisi selalu “dimentahkan” Singapura. Usulan Indonesia untuk membuat perjanjian ektradisi dengan Singapura adalah terkait dengan kecurigaan banyaknya jumlah uang hasil tindak pidana korupsi yang dibawa para koruptor dari Indonesia ke Singapura. “Uang haram” yang dilarikan ke Singapura tersebut adalah bagian dari money laundering yang selama ini tergolong dalam tindak pidana yang terjadi di Indonesia sejak krisis moneter tahun 1997. Sebenarnya pembicaran mengenai kerjasama regional ASEAN dan perjanjian ekstradisi sudah dilakukan satu tahun sebelumnya, tepatnya pada pertemuan informal ASEAN pertama yang diadakan di Jakarta bulan November 1996. Namun pertemuan tersebut belum membuahkan kesepakatan oleh karena adanya perbedaan mengenai hukum nasional serta kepentingan nasional Singapura sendiri. Jika Singapura menyepakati perjanjian ekstradisi dengan Indonesia, maka konsekuensinya adalah Singapura tidak hanya menyerahkan pelaku tindak pidana yang merupakan warga Indonesia, tetapi juga harus mengembalikan dana yang dilarikan pelaku pidana kepada pihak Indonesia.
Komitmen pemberantasan kejahatan transnasional di ASEAN kemudian diperkuat dengan diadakannya pertemuan tingkat Menteri Luar Negeri kedua tentang kejahatan transnasional (Second ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime) yang diselenggarakan di Yangon Myanmar.[22] Pertemuan tersebut mengeluarkan komunike bersama tentang pemberantasan kejahatan transnasional tak terkecuali bentuk kejahatan transnasional money laundering. Langkah-langkah yang disepakati dalam pertemuan tersebut adalah sebagai berikut:
Penegasan kembali untuk mendukung Visi ASEAN 2020 sebagai sebuah tujuan dari negara-negara ASEAN, meningkatkan kerjasama eksternal regional (outward-looking), menjaga stabilitas dan kemakmuran di kawasan Asia Tenggara.
Mengangkat ASEAN Plant of Action sebagai acuan dalam memerangi kejahatan trasnsnasional dengan mendorong negara anggota ASEAN untuk meluaskan usahanya dalam memerangi kejahatan transnasional pada tingkat regional dan memperkuat kapasitas dan komitmen regional dalam hal tersebut. Langkah ini diambil mengingat kejahatan transnasional daya sebar yang tinggi. Usaha tingkat regional ini akan memberikan dampak yang signifikan dan kontributif pada usaha bilateral yang diambil negara-negara anggota ASEAN sebelumnya.
Menjadikan ASEAN Plan of Action to Combat Transnational Crimes sebagai instrumen utnuk membangun kohesifitas strategi regional untuk mencegah, mengawasi serta menetralisir kejahatan transnasional, meningkatkan kerjasama regional dalam menginvestigasi, menahan, dan mengadili sekaligus merehabilitasi pelaku tindak kejahatan. Selain itu juga disepakati untuk meningkatkan kerjasama antar aparat keamanan ASEAN yang terkait dengan kejahatan trnasnasional, memperkuat kapasitas dan kapabilitas regional dalam kejahatan transnasonal yang mutakhir, membangun perjanjian regional dan sub-regional pada pengadilan kriminal termasuk MLA (Mutual Legal Assistance) dan ekstradisi. Program aktifitas tersebut mencakup pertukaran informasi, kerjasama dalam hukum dan perundangan-undangan, mengembangkan kapasitas lembaga (institutional capacity building), pelatihan serta kerjasama ekstra regional lainnya.
Menyepakati dibangunnya Pusat Pemberantasan Kejahatan Transnasional ASEAN (ASEAN Center for Combating Transnational Crimes/ ACTC) yang akan menjadi badan koordinasi dalam pemberantasan kejahatan transnasional.
Respons ASEAN dalam menyikapi Serangan 11 September
Belum tuntas pelaksanaan semua kesepakatan yang telah dicapai ASEAN. Tiba-tiba dunia internasional dikejutkan dengan terjadinya peristiwa 11 September. 2 pesawat yang dikendalikan oleh para teroris ditabrakkan ke Menara Kembar World Trade Center yang merupakan lambang pusat transaksi keuangan dunia. Belum selesai keterkejutan publik akibat runtuhnya menara kembar WTC, selang beberapa menit kemudian gedung Pentagon yang merupakan markas besar militer AS itu juga mengalami hal serupa. Walaupun pesawat menabrak hanya bagian kecil dari gedung tersebut dibagian Utara, namun tak pelak sebagaimana laporan media setempat mencatat puluhan korban tewas. Hal ini menjadikan seluruh dunia mengalami kejangkitan demam antiterorisme. Amerika Serikat yang merupakan negara “Superpower” tunggal saat ini mendesak dunia internasional untuk memberikan perhatian dan peduli terhadap upaya dalam memberantas terorisme dengan membuat undang-undang antiterorisme.
Undang-undang tersebut tidak hanya mengkriminalisasi perbuatan terror yang dilakukan oleh para teroris, namun mengkriminalisasi pula kegiatan pembiayaan terorisme (financing of terrorism) atau pembiayan kepada para teroris (terrorist financing). Di tingkat internasional pencegahan pembiayaan terhadap aksierorisme telah oleh FATF dilakukan pada plenary meeting yang diselenggarakan di Hongkong pada tanggal 1 Februari 2002. Pertemuan tersebut menyepakati bahwa teroris dan mereka yang membantu teroris harus dihalangi aksesnya ke sistem keuangan internasional. dalam rapat luar biasa yang diselenggarakan di Washington DC pada tanggal 29 dan 30 Oktober 2001, FATF yang sejak didirikan telah menjadi ujung tombak dari upaya untuk melaksanakan tindakan-tindakan dalam rangka pengunaan sistem keuangan (financial system) oleh para penjahat, telah memperluas misinya bukan hanya sekadar menyangkut money laundering saja, namun terfokus juga pada terrorist financing.[23]
Peristiwa 11 September tersebut memberikan dampak yang signifikan bagi peningkatan kerjasama keamanan regional ASEAN. Negara-negara anggota ASEAN menyadari kemungkinan negara-negara yang berada di Asia Tenggara akan menjadi target serangan kelompok teroris selanjutnya. Aparat intelejen meyakini dana yang digunakan oleh para teroris untuk melancarkan operasi bersumber dari pencucian uang. Menyikapi hal tersebut negara-negara anggota ASEAN bersepakat untuk mengadakan pertemuan pada tingkat menteri ketiga (The Third ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime) untuk mengantisipasi kejadian serupa. Pertemuan yang dilangsungkan tepat sebulan setelah tragedi 11 September (11 Oktober 2001) berhasil mengeluarkan komunike bersama tentang pemberantasan kejahatan transansional[24].
Kesepakatan yang dihasilkan dalam komunike bersama tersebut adalah termasuk diantaranya menegaskan kembali komitmen negara-negara anggota ASEAN dalam pemberantasan money laundering merujuk kepada kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya seperti pada pertemuan ke –22 ASEAN Senior Officials Meeting on Drug Matter, pertemuan ke-4 dan ke-5 ASEAN Directors-General of Immigration Departemen and Heads of Consular Affairs Divisions of the Ministries of Foreign Affairs, laporan pertemuan ke-7 ASEAN Senior Law Officials Meeting, konferensi ke-20 dan ke-21 ASEANAPOL kesemuanya berkaitan dengan pemberantasan kejahatan transnasional.
Puncak dari pertemuan-pertemuan dalam membahas pemberantasan kejahatan transnasional termasuk di dalamnya pencucian uang adalah disepakatinya program kerja (ASEAN work programme to Combat Transnational Crime) di Kuala Lumpur, Malaysia.[25] Sebelumnya kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat tidak terdapat rencana kerja yang konkrit. Sehingga dalam pelaksanaannya masih terdapat kendala-kendala di lapangan terkait kedaulatan negara masing-masing. Selain itu aparat dilapangan belum terkoordinasi dengan baik yang pada gilirannya memberikan peluang bagi para pelaku kajahatan untuk melakukan operasinya. Menyadari hal tersebut negara-negara anggota ASEAN kemudian merumuskan program aksi lapangan yang nyata dan komprehensif yang kemudian dikenal ASEAN Work Programme to Combat Transnational Crimes. Work programme ini merupakan tindak lanjut untuk mengimplementasikan ASEAN Plan of Action.
Dengan adanya program ini diharapkan kerjasama akan lebih terpadu dan integratif. Secara umum tujuan dari program adalah untuk mendorong anggota ASEAN agar memperluas usaha mereka dalam memerangi kajahatan transnasional pada tingkat nasional dan bilateral kepada tingkat regional. Adapun tujuan khusus adalah:
Perubahan Konstelasi Politik Internasional
Seiring berakhirnya perang dingin[17], antara dua kubu kekuatan dunia Amerika Serikat dan Uni Soviet (1989), politik internasional berubah kearah bentuk multipolar, dimana titik pusat kekuatan dunia tidak lagi bersumber di kedua negara, akan tetapi ter-centrifugal menjadi bagian-bagian yang berdiri sendiri, baik dalam kelompok (regional) maupun individu negara.
Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi mengartikan multipolar sebagai distribusi kekuatan yang lebih dari dua kutub pusat dalam sistem internasional[18]. Perubahan ini ditandai dengan kecenderungan negara-negara di dalam suatu kawasan menyatukan diri dalam organisasi regional. Uni Eropa sendiri kemudian meningkatkan kerjasamanya dalam bentuk yang lebih mengikat. Tak terkecuali dibelahan benua Afrika, penguatan regionalisme ini juga dirasakan dengan membentuk Uni Afrika., demikian pula halnya kawasan Timur Tengah (Uni Emirat Arab dan Liga Arab), dan belahan dunia lainnya.
ASEAN sendiri yang merupakan organisasi regional Asia Tenggara juga mengalami hal yang sama. Pasca perang dingi keanggotaan ASEAN bertambah. Negara-negara di seputar Asia Tenggara akhirnya berkeinginan untuk menggabungkan diri dalam wadah ASEAN. Negara-negara yang menyatakan diri untuk bergabung dalam ASEAN tersebut adalah Vietnam (28 Juli 1995), Laos dan Myanmar (23 Juli 1997), dan pada tanggal 3 April 1999 Kamboja memutuskan untuk masuk keanggotaan ASEAN. Dengan bergabungnya kelima negara tersebut kini ASEAN berpenduduk sekitar 500 juta orang, dengan luas wilayah 4,5 juta kilometer persegi, GDP total sebesar US$ 737 milyar, dan total perdagangan mencapai US$ 720 milyar.[19] Selain memberikan pengaruh pada peningkatan kerjasama dalam bidang ekonomi, politik, serta sosial budaya, hal ini juga memberikan implikasi terhadap stabilitas keamanan kawasan.
Ancaman keamanan pada tingkat internasional juga mengalami perubahan. Jika era perang dingin ancaman negara berbentuk tradisional, namun setelah perang dingin usai ancaman berubah kedalam bentuk non-tradisional. Walaupun demikian tidak berarti bahwa pola tradisional ini telah pupus. Pola tradisional mengacu pada konflik teritorial, perlombaan senjata (arms race), dan separatisme. Pengoptimalan kekuatan nasional menjadi ciri khas dalam menghadapi ancaman ini, terutama yang bersifat militeristik. Sementara pola non-tradisional adalah kelanjutan dari ancaman tradisional mengarah ancaman yang lebih ektensif yakni dengan melibatkan banyak negara. Ancaman ini berupa kejahatan transnasional yang mampu mengorganisir aktor individu atau kelompok dari berbagai negara. Lagi pula kerjasama aktor negara dalam tingkat internasional menjadi cara yang efektif untuk menekan dan memerangi ancaman ini.
Barry Buzan dan Ole Weaver dalam buku mereka berjudul Region and Power; the structure of international security telah meramalkan bahwa pada saatnya upaya pengamanan internal suatu negara tidak bisa dilakukan secara individual, melainkan dengan melibatkan negara lain disekitarnya. Ia juga menyebutkan fenomena ini sebagai masalah keamanan yang rumit (Security Complex). Lebih lanjut mereka juga menyepakati adanya terjadi perubahan bentuk ancaman sebelum dan sesudah Perang Dingin, “dalam era pasca perang dingin terjadi perubahan upaya ancaman keamanan dari bentuk yang mengacu pada sektor politik-militer kepada keterlibatan aktor-aktor internasional lainnya”[20].
Upaya ASEAN dalam Menanggulangi Transnational Crime
Untuk mengatasi ancaman tersebut para pemimpin negara anggota ASEAN mengadakan sejumlah pertemuan yang menghasilkan berbagai kesepakatan, dari komunike bersama hingga mengeluarkan deklarasi yang kesemuanya berisi tentang langkah-langkah yang diperlukan guna menindak kejahatan transnasional. Perhatian dari negara-negrara anggota ASEAN tercermin, ketika pertemuan tersebut tidak hanya dihadiri pada tingkat pejabat senior ataupun menteri, melainkan pada tingkat tinggi yakni kepala negara dan pemerintahan. Dalam penjelasan berikut ini penulis akan mengetengahkan hasil-hasil pertemuan yang telah disepakati oleh negara-negara ASEAN. Memang, jika diperhatikan hanya kejahatan terorisme yang mendapat perhatian khusus dengan membuat pertemuan yang membahas tentang terorisme saja, termasuk menyepakati mengambil tindakan atas individu dan kelompok yang memberikan dukungan keuangan kepada para teroris. ASEAN telah mengambil langkah-langkah khusus guna memerangi kejahatan ini seperti pada KTT ASEAN ke-7 pada 5 November 2001 di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, ASEAN Ministerial Meeting on Terrorism di Kuala Lumpur, 20-21 May 2002, serta beberapa deklarasi ASEAN dengan beberapa negara yang merupakan mitra dialog ASEAN.
Pada pertemuan tingkat Menteri Dalam Negeri masing-masing negara anggota ASEAN yang membahas tentang pemberantasan transnastional crime, 18-20 Desember 1997[21]. Dalam pertemuan tersebut menghasilkan deklarasi bersama tentang upaya pemberantasan semua bentuk kejahatan transnasional. Pertemuan tersebut diantaranya menyepakati pertukaran informasi aparat keamanan masing-masing negara. Pada pertemuan tersebut juga dibahas tentang pendirian sebuah badan yang akan mengkaji kemungkinan kerjasama regional ASEAN dalam mengefektifkan upaya pemberantasan kejahatan-kejahatan tersebut, termasuk kemungkinan dibuat suatu perjanjian ekstradisi antar negara anggota ASEAN. Seperti diketahui kendati organisasi ASEAN telah berusia lebih dari 30 tahun namun tidak seluruh anggota memiliki perjanjian ekstradisi. Memang Indonesia telah membuat perjanjian beberapa negara ASEAN lainnya seperti Malaysia dan Filipina, namun hingga kini Indonesia belum membuat hal yang sama dengan Singapura. Berbagai alasan penolakan dalam pembuatan perjanjian ekstradisi terkait dengan kepentingan nasional negara yang bersangkutan.
Harapan Indonesia untuk membuat perjanjian ektradisi selalu “dimentahkan” Singapura. Usulan Indonesia untuk membuat perjanjian ektradisi dengan Singapura adalah terkait dengan kecurigaan banyaknya jumlah uang hasil tindak pidana korupsi yang dibawa para koruptor dari Indonesia ke Singapura. “Uang haram” yang dilarikan ke Singapura tersebut adalah bagian dari money laundering yang selama ini tergolong dalam tindak pidana yang terjadi di Indonesia sejak krisis moneter tahun 1997. Sebenarnya pembicaran mengenai kerjasama regional ASEAN dan perjanjian ekstradisi sudah dilakukan satu tahun sebelumnya, tepatnya pada pertemuan informal ASEAN pertama yang diadakan di Jakarta bulan November 1996. Namun pertemuan tersebut belum membuahkan kesepakatan oleh karena adanya perbedaan mengenai hukum nasional serta kepentingan nasional Singapura sendiri. Jika Singapura menyepakati perjanjian ekstradisi dengan Indonesia, maka konsekuensinya adalah Singapura tidak hanya menyerahkan pelaku tindak pidana yang merupakan warga Indonesia, tetapi juga harus mengembalikan dana yang dilarikan pelaku pidana kepada pihak Indonesia.
Komitmen pemberantasan kejahatan transnasional di ASEAN kemudian diperkuat dengan diadakannya pertemuan tingkat Menteri Luar Negeri kedua tentang kejahatan transnasional (Second ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime) yang diselenggarakan di Yangon Myanmar.[22] Pertemuan tersebut mengeluarkan komunike bersama tentang pemberantasan kejahatan transnasional tak terkecuali bentuk kejahatan transnasional money laundering. Langkah-langkah yang disepakati dalam pertemuan tersebut adalah sebagai berikut:
Penegasan kembali untuk mendukung Visi ASEAN 2020 sebagai sebuah tujuan dari negara-negara ASEAN, meningkatkan kerjasama eksternal regional (outward-looking), menjaga stabilitas dan kemakmuran di kawasan Asia Tenggara.
Mengangkat ASEAN Plant of Action sebagai acuan dalam memerangi kejahatan trasnsnasional dengan mendorong negara anggota ASEAN untuk meluaskan usahanya dalam memerangi kejahatan transnasional pada tingkat regional dan memperkuat kapasitas dan komitmen regional dalam hal tersebut. Langkah ini diambil mengingat kejahatan transnasional daya sebar yang tinggi. Usaha tingkat regional ini akan memberikan dampak yang signifikan dan kontributif pada usaha bilateral yang diambil negara-negara anggota ASEAN sebelumnya.
Menjadikan ASEAN Plan of Action to Combat Transnational Crimes sebagai instrumen utnuk membangun kohesifitas strategi regional untuk mencegah, mengawasi serta menetralisir kejahatan transnasional, meningkatkan kerjasama regional dalam menginvestigasi, menahan, dan mengadili sekaligus merehabilitasi pelaku tindak kejahatan. Selain itu juga disepakati untuk meningkatkan kerjasama antar aparat keamanan ASEAN yang terkait dengan kejahatan trnasnasional, memperkuat kapasitas dan kapabilitas regional dalam kejahatan transnasonal yang mutakhir, membangun perjanjian regional dan sub-regional pada pengadilan kriminal termasuk MLA (Mutual Legal Assistance) dan ekstradisi. Program aktifitas tersebut mencakup pertukaran informasi, kerjasama dalam hukum dan perundangan-undangan, mengembangkan kapasitas lembaga (institutional capacity building), pelatihan serta kerjasama ekstra regional lainnya.
Menyepakati dibangunnya Pusat Pemberantasan Kejahatan Transnasional ASEAN (ASEAN Center for Combating Transnational Crimes/ ACTC) yang akan menjadi badan koordinasi dalam pemberantasan kejahatan transnasional.
Respons ASEAN dalam menyikapi Serangan 11 September
Belum tuntas pelaksanaan semua kesepakatan yang telah dicapai ASEAN. Tiba-tiba dunia internasional dikejutkan dengan terjadinya peristiwa 11 September. 2 pesawat yang dikendalikan oleh para teroris ditabrakkan ke Menara Kembar World Trade Center yang merupakan lambang pusat transaksi keuangan dunia. Belum selesai keterkejutan publik akibat runtuhnya menara kembar WTC, selang beberapa menit kemudian gedung Pentagon yang merupakan markas besar militer AS itu juga mengalami hal serupa. Walaupun pesawat menabrak hanya bagian kecil dari gedung tersebut dibagian Utara, namun tak pelak sebagaimana laporan media setempat mencatat puluhan korban tewas. Hal ini menjadikan seluruh dunia mengalami kejangkitan demam antiterorisme. Amerika Serikat yang merupakan negara “Superpower” tunggal saat ini mendesak dunia internasional untuk memberikan perhatian dan peduli terhadap upaya dalam memberantas terorisme dengan membuat undang-undang antiterorisme.
Undang-undang tersebut tidak hanya mengkriminalisasi perbuatan terror yang dilakukan oleh para teroris, namun mengkriminalisasi pula kegiatan pembiayaan terorisme (financing of terrorism) atau pembiayan kepada para teroris (terrorist financing). Di tingkat internasional pencegahan pembiayaan terhadap aksierorisme telah oleh FATF dilakukan pada plenary meeting yang diselenggarakan di Hongkong pada tanggal 1 Februari 2002. Pertemuan tersebut menyepakati bahwa teroris dan mereka yang membantu teroris harus dihalangi aksesnya ke sistem keuangan internasional. dalam rapat luar biasa yang diselenggarakan di Washington DC pada tanggal 29 dan 30 Oktober 2001, FATF yang sejak didirikan telah menjadi ujung tombak dari upaya untuk melaksanakan tindakan-tindakan dalam rangka pengunaan sistem keuangan (financial system) oleh para penjahat, telah memperluas misinya bukan hanya sekadar menyangkut money laundering saja, namun terfokus juga pada terrorist financing.[23]
Peristiwa 11 September tersebut memberikan dampak yang signifikan bagi peningkatan kerjasama keamanan regional ASEAN. Negara-negara anggota ASEAN menyadari kemungkinan negara-negara yang berada di Asia Tenggara akan menjadi target serangan kelompok teroris selanjutnya. Aparat intelejen meyakini dana yang digunakan oleh para teroris untuk melancarkan operasi bersumber dari pencucian uang. Menyikapi hal tersebut negara-negara anggota ASEAN bersepakat untuk mengadakan pertemuan pada tingkat menteri ketiga (The Third ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime) untuk mengantisipasi kejadian serupa. Pertemuan yang dilangsungkan tepat sebulan setelah tragedi 11 September (11 Oktober 2001) berhasil mengeluarkan komunike bersama tentang pemberantasan kejahatan transansional[24].
Kesepakatan yang dihasilkan dalam komunike bersama tersebut adalah termasuk diantaranya menegaskan kembali komitmen negara-negara anggota ASEAN dalam pemberantasan money laundering merujuk kepada kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya seperti pada pertemuan ke –22 ASEAN Senior Officials Meeting on Drug Matter, pertemuan ke-4 dan ke-5 ASEAN Directors-General of Immigration Departemen and Heads of Consular Affairs Divisions of the Ministries of Foreign Affairs, laporan pertemuan ke-7 ASEAN Senior Law Officials Meeting, konferensi ke-20 dan ke-21 ASEANAPOL kesemuanya berkaitan dengan pemberantasan kejahatan transnasional.
Puncak dari pertemuan-pertemuan dalam membahas pemberantasan kejahatan transnasional termasuk di dalamnya pencucian uang adalah disepakatinya program kerja (ASEAN work programme to Combat Transnational Crime) di Kuala Lumpur, Malaysia.[25] Sebelumnya kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat tidak terdapat rencana kerja yang konkrit. Sehingga dalam pelaksanaannya masih terdapat kendala-kendala di lapangan terkait kedaulatan negara masing-masing. Selain itu aparat dilapangan belum terkoordinasi dengan baik yang pada gilirannya memberikan peluang bagi para pelaku kajahatan untuk melakukan operasinya. Menyadari hal tersebut negara-negara anggota ASEAN kemudian merumuskan program aksi lapangan yang nyata dan komprehensif yang kemudian dikenal ASEAN Work Programme to Combat Transnational Crimes. Work programme ini merupakan tindak lanjut untuk mengimplementasikan ASEAN Plan of Action.
Dengan adanya program ini diharapkan kerjasama akan lebih terpadu dan integratif. Secara umum tujuan dari program adalah untuk mendorong anggota ASEAN agar memperluas usaha mereka dalam memerangi kajahatan transnasional pada tingkat nasional dan bilateral kepada tingkat regional. Adapun tujuan khusus adalah:
Membangun kohesifitas, strategi regional yang diarahkan untuk mencegah, memberikan pengawasan dan menetralisir kejahatan transnasional
Meningkatkan kerjasama regional dalam bidang penyelidikan, penuntutan, dan proses pengadilan serta perehabilitasian pelaku.
Meningkatkan koordinasi antar badan-badan atau lembaga-lemabaga ASEAN yang menangani kejahatan transnasional
Memperkuat kapabilitas dan kapasitas regional berkenaan penggunaan peralatan canggih kejahatan transnasional.
Mengembangkan perjanjian sub-regional dan regional pada kerjasama pengadilan kriminal, termasuk mutual legal assistance dan perjanjian ekstradisi.
Tujuan normatif diatas memperlihatkan upaya ASEAN untuk menekan transnational crime dengan membangun kerjasama regional. Namun demikian sebuah kesepakatan tanpa memiliki kerangka dan mekanisme yang jelas tidak akan berpengaruh apapun. Persoalan ini kemudian mendorong dibuatnya suatu program kerja (work programme) yang jelas dan terukur mencakup penanganan dari seluruh jenis kejahatan transnasional termasuk; perdagangan obat terlarang, penyelundupan manusia, bajak laut, penyelundupan senjata, money laundering, terorisme, international economic crime, dan cyber crime.
Upaya pemberantasan pembiayaan terorisme (terorrism financing) terus dilakukan. Pada pertemuan dengan mitranya yang tergabung dalan ASEAN Regional Forum (ARF) di Bandar Seri Begawan, Brunie Darussalam, 30 Juli 2002. Pertemuan tersebut berhasil menyepakati pengambilan langkah-langkah terhadap keuangan teroris yang diyakini dalam operasinya menggunakan uang “haram”. Langkah-langkah tersebut merupakan respon terhadap adanya kecurigaan bahwa para teroris mendapatkan dana operasinya dari luar negeri. Sebenarnya kesepakatan yang berupa rekomendasi ini merupakan hasil pertemuan senior official ARF yang bertema ARF Workshop on Financial Measures Against Terorism yang digelar di Malaysia dan Amerika Serikat pada 24-26 Maret 2002.[26]
Adapun langkah-langkah yang diambil dalam mencegah pembiayaan kepada teroris tersebut adalah:
Ø Seluruh anggota ARF akan melaksanakan secara cepat dan terukur masalah yang telah di identifikasi PBB sebagai keharusan dalam memerangi terorisme
Ø Seluruh negara akan menutup akses para teroris untuk masuk ke dalam sistem keuangan di masing-masing negara
Ø Seluruh negara akan bekerjasama dengan badan internasional melakukan hal serupa termasuk International Fianacial Institution (IFI’s), FATF, FATF-style bodies, dan The Financial Stability Forum (FSF) untuk mencegah penyalahgunaan sistem keuangan dan ancaman integritas melalui promosi standar internasional dalam pencegahan pembiayaan teroris, pencucian uang dan aturan dan pengawasan sektor keuangan.
Ø Seluruh anggota menyambut baik keputusan dari FATF extraordinary plenary yang berisi pembiayaan teroris dan 8 rekomendasi khususnya tentang pembiayaan teroris.
Ø Untuk melaksanakan semua kesepakatan tersebut, maka negara-negara anggota ARF akan meningkatkan kemampuan masing-masing untuk membagi baik informasi lokal maupun luar negeri yang merupakan komponen dalam memerangi terorisme.
Ø Meminta kepada seluruh anggota untuk berupaya dalam penyiadaan bantuan kepada negara-negara yang membutuhkan bantuan terkait dengan masalah diatas.
Seiring kerjasama ASEAN yang semakin kompleks dan berkembangnya kejahatan transnasional, diperlukan konsistensi dan komitmen masing-masing negara anggota untuk tetap melaksanakan da melanjutkan kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya. Untuk memperkuat komitmen tersebut ASEAN kemudian mengadakan pertemuan tingkat menteri keempat tentang kejahatan transnasional (Fourth ASEAN Ministerial meeting on Transnational Crime) di Bangkok, Thailand, melahirkan komunike bersama.[27] Komunike tersebut antara lain menyatakan, pertama, memperkuat kembali komitmen negara-negara ASEAN dalam pemberantasan transnasional crime. Kedua, Menyambut baik deklarasi Bali Concord II pada ASEAN Summit ke-9 di Bali Oktober 2003 dan perjanjian untuk membangun ASEAN Security Community untuk menguatkan kapasitas nasional dan regional untuk memberantas terorisme, drug trafficking, human trafficking dan kejahatan transnasional lainnya. Ketiga, menyadari peningkatan tren tindkan terorisme dan bentuk kejahatan transnasional lainnya termasuk penyelundupan senjata (arms smuggling), money laundering, bajak laut (sea piracy), kejahatan ekonomi internasional (international economic crime), kejahatan cyber, dan penyelundupan manusia di kawasan ASEAN. Keempat, menegaskan kembali tekad untuk melaksanakan kesepakatan secara komprehensif melalui pendekatan koordinatif. Kelima, berkomitmen untuk mempercepat pelaksanaan work programme untuk melaksanakan Plan of Action to Combat Transnational Crime.
Tabel Pertemuan Negara-Negara Anggota ASEAN Dalam Upaya
Pemberantasan Transnational Crimes Periode 1997-2004
(Termasuk Pemberantasan Money Laundering)
No
Tanggal
Pertemuan
Tempat
Keterangan
1
18-20 Desember 1997
ASEAN Conference on Transnational Crime
Manila,
Filipina
Pertemuan pada tingkat Menteri Dalam Negeri. Mengeluarkan deklarasi
2
23 Juni 1999
Second ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime
Yangon, Mynamar
Pertemuan pada tingkat Menteri Luar Negeri. Mengeluarkan Komunike Bersama
3
11 Oktober 2001
Third ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crimes
Singapura
Pertemuan pada tingkat Menteri Luar Negeri. Mengeluarkan Komunike Bersama
4
17 Mei 2002
ASEAN Plan of Action to Combat Transnational Crime
Kuala Lumpur, Malaysia
Mengeluarkan program kerja (work programme) dari delapan jenis kejahatan transnasional termasuk money laundering
5
30 Juli 2002
ARF Statement on Measures Against Terrorist Financing
Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam
Pertemuan Tingkat Tinggi. Menyepakati langkah-langkah pemberantasan pembiayaan terorisme (terrorism financing)
6
8 Januari 2004
Fourth ASEAN Ministerial Meeting On Transnational Crime (AMMTC)
Bangkok, Thailand
Pertemuan pada tingkat Menteri Luar Negeri. Mengeluarkan Komunike Bersama
Sumber: Diolah dari data yang didapat dari ASEAN Secretariat
Kerjasama ASEAN yang pada awalnya lebih menfokuskan pada bidang ekonomi. Hal ini disebabkan karena bentuk kerjasama ini berprinsip; non-intervensi, penghormatan kedaulatan, penyelesaian masalah secara damai, dan penghindaran penggunanan kekuatan bersenjata dalam penyelesaian masalah.negara anggotanya. Kini kerjasama ASEAN lebih meluas termasuk penanganan terhadap transnational crime. Kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat dalam merespon muncul kejahatan transnasional membuktikan bahwa ASEAN menyadari tantangan-tantangan yang muncul semakin kompleks.
Kesimpulan
Kejahatan transnasional kini memasuki fase baru dengan munculnya globalisasi yang ditandai teknologi informasi dan komunikasi. Kondisi ini kemudian memerlukan respons yang memadai guna membendung serta menghentikan laju peningkatan kejahatan transnasional ini. Karena sistem dan pola kerjanya yang melintasi batas kedaulatan negara, maka kerjasama internasional adalah sebuah keniscayaan.
Pelbagai pertemuan dan kesepakatan telah dibuat baik pada tingkat regional maupun bilateral. Namun kesemuanya tidak akan membuahkan hasil yang signifikan, jika masing-masing negara yang terlibat tidak memiliki komitmen dalam mengimplementasikan kesepakatan tersebut. Kedaulatan negara, perbedaan kepentingan nasional dan nilai seringkali menjadi hambatan untuk mencapai tujuan bersama itu. ASEAN cukup responsif dalam menghadapi fenomena kejahatan yang berkembang pada abad 21 seperti yang dikatakan Louise I. Shelley dan Mark Galeotti diatas.
Meningkatkan kerjasama regional dalam bidang penyelidikan, penuntutan, dan proses pengadilan serta perehabilitasian pelaku.
Meningkatkan koordinasi antar badan-badan atau lembaga-lemabaga ASEAN yang menangani kejahatan transnasional
Memperkuat kapabilitas dan kapasitas regional berkenaan penggunaan peralatan canggih kejahatan transnasional.
Mengembangkan perjanjian sub-regional dan regional pada kerjasama pengadilan kriminal, termasuk mutual legal assistance dan perjanjian ekstradisi.
Tujuan normatif diatas memperlihatkan upaya ASEAN untuk menekan transnational crime dengan membangun kerjasama regional. Namun demikian sebuah kesepakatan tanpa memiliki kerangka dan mekanisme yang jelas tidak akan berpengaruh apapun. Persoalan ini kemudian mendorong dibuatnya suatu program kerja (work programme) yang jelas dan terukur mencakup penanganan dari seluruh jenis kejahatan transnasional termasuk; perdagangan obat terlarang, penyelundupan manusia, bajak laut, penyelundupan senjata, money laundering, terorisme, international economic crime, dan cyber crime.
Upaya pemberantasan pembiayaan terorisme (terorrism financing) terus dilakukan. Pada pertemuan dengan mitranya yang tergabung dalan ASEAN Regional Forum (ARF) di Bandar Seri Begawan, Brunie Darussalam, 30 Juli 2002. Pertemuan tersebut berhasil menyepakati pengambilan langkah-langkah terhadap keuangan teroris yang diyakini dalam operasinya menggunakan uang “haram”. Langkah-langkah tersebut merupakan respon terhadap adanya kecurigaan bahwa para teroris mendapatkan dana operasinya dari luar negeri. Sebenarnya kesepakatan yang berupa rekomendasi ini merupakan hasil pertemuan senior official ARF yang bertema ARF Workshop on Financial Measures Against Terorism yang digelar di Malaysia dan Amerika Serikat pada 24-26 Maret 2002.[26]
Adapun langkah-langkah yang diambil dalam mencegah pembiayaan kepada teroris tersebut adalah:
Ø Seluruh anggota ARF akan melaksanakan secara cepat dan terukur masalah yang telah di identifikasi PBB sebagai keharusan dalam memerangi terorisme
Ø Seluruh negara akan menutup akses para teroris untuk masuk ke dalam sistem keuangan di masing-masing negara
Ø Seluruh negara akan bekerjasama dengan badan internasional melakukan hal serupa termasuk International Fianacial Institution (IFI’s), FATF, FATF-style bodies, dan The Financial Stability Forum (FSF) untuk mencegah penyalahgunaan sistem keuangan dan ancaman integritas melalui promosi standar internasional dalam pencegahan pembiayaan teroris, pencucian uang dan aturan dan pengawasan sektor keuangan.
Ø Seluruh anggota menyambut baik keputusan dari FATF extraordinary plenary yang berisi pembiayaan teroris dan 8 rekomendasi khususnya tentang pembiayaan teroris.
Ø Untuk melaksanakan semua kesepakatan tersebut, maka negara-negara anggota ARF akan meningkatkan kemampuan masing-masing untuk membagi baik informasi lokal maupun luar negeri yang merupakan komponen dalam memerangi terorisme.
Ø Meminta kepada seluruh anggota untuk berupaya dalam penyiadaan bantuan kepada negara-negara yang membutuhkan bantuan terkait dengan masalah diatas.
Seiring kerjasama ASEAN yang semakin kompleks dan berkembangnya kejahatan transnasional, diperlukan konsistensi dan komitmen masing-masing negara anggota untuk tetap melaksanakan da melanjutkan kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya. Untuk memperkuat komitmen tersebut ASEAN kemudian mengadakan pertemuan tingkat menteri keempat tentang kejahatan transnasional (Fourth ASEAN Ministerial meeting on Transnational Crime) di Bangkok, Thailand, melahirkan komunike bersama.[27] Komunike tersebut antara lain menyatakan, pertama, memperkuat kembali komitmen negara-negara ASEAN dalam pemberantasan transnasional crime. Kedua, Menyambut baik deklarasi Bali Concord II pada ASEAN Summit ke-9 di Bali Oktober 2003 dan perjanjian untuk membangun ASEAN Security Community untuk menguatkan kapasitas nasional dan regional untuk memberantas terorisme, drug trafficking, human trafficking dan kejahatan transnasional lainnya. Ketiga, menyadari peningkatan tren tindkan terorisme dan bentuk kejahatan transnasional lainnya termasuk penyelundupan senjata (arms smuggling), money laundering, bajak laut (sea piracy), kejahatan ekonomi internasional (international economic crime), kejahatan cyber, dan penyelundupan manusia di kawasan ASEAN. Keempat, menegaskan kembali tekad untuk melaksanakan kesepakatan secara komprehensif melalui pendekatan koordinatif. Kelima, berkomitmen untuk mempercepat pelaksanaan work programme untuk melaksanakan Plan of Action to Combat Transnational Crime.
Tabel Pertemuan Negara-Negara Anggota ASEAN Dalam Upaya
Pemberantasan Transnational Crimes Periode 1997-2004
(Termasuk Pemberantasan Money Laundering)
No
Tanggal
Pertemuan
Tempat
Keterangan
1
18-20 Desember 1997
ASEAN Conference on Transnational Crime
Manila,
Filipina
Pertemuan pada tingkat Menteri Dalam Negeri. Mengeluarkan deklarasi
2
23 Juni 1999
Second ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime
Yangon, Mynamar
Pertemuan pada tingkat Menteri Luar Negeri. Mengeluarkan Komunike Bersama
3
11 Oktober 2001
Third ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crimes
Singapura
Pertemuan pada tingkat Menteri Luar Negeri. Mengeluarkan Komunike Bersama
4
17 Mei 2002
ASEAN Plan of Action to Combat Transnational Crime
Kuala Lumpur, Malaysia
Mengeluarkan program kerja (work programme) dari delapan jenis kejahatan transnasional termasuk money laundering
5
30 Juli 2002
ARF Statement on Measures Against Terrorist Financing
Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam
Pertemuan Tingkat Tinggi. Menyepakati langkah-langkah pemberantasan pembiayaan terorisme (terrorism financing)
6
8 Januari 2004
Fourth ASEAN Ministerial Meeting On Transnational Crime (AMMTC)
Bangkok, Thailand
Pertemuan pada tingkat Menteri Luar Negeri. Mengeluarkan Komunike Bersama
Sumber: Diolah dari data yang didapat dari ASEAN Secretariat
Kerjasama ASEAN yang pada awalnya lebih menfokuskan pada bidang ekonomi. Hal ini disebabkan karena bentuk kerjasama ini berprinsip; non-intervensi, penghormatan kedaulatan, penyelesaian masalah secara damai, dan penghindaran penggunanan kekuatan bersenjata dalam penyelesaian masalah.negara anggotanya. Kini kerjasama ASEAN lebih meluas termasuk penanganan terhadap transnational crime. Kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat dalam merespon muncul kejahatan transnasional membuktikan bahwa ASEAN menyadari tantangan-tantangan yang muncul semakin kompleks.
Kesimpulan
Kejahatan transnasional kini memasuki fase baru dengan munculnya globalisasi yang ditandai teknologi informasi dan komunikasi. Kondisi ini kemudian memerlukan respons yang memadai guna membendung serta menghentikan laju peningkatan kejahatan transnasional ini. Karena sistem dan pola kerjanya yang melintasi batas kedaulatan negara, maka kerjasama internasional adalah sebuah keniscayaan.
Pelbagai pertemuan dan kesepakatan telah dibuat baik pada tingkat regional maupun bilateral. Namun kesemuanya tidak akan membuahkan hasil yang signifikan, jika masing-masing negara yang terlibat tidak memiliki komitmen dalam mengimplementasikan kesepakatan tersebut. Kedaulatan negara, perbedaan kepentingan nasional dan nilai seringkali menjadi hambatan untuk mencapai tujuan bersama itu. ASEAN cukup responsif dalam menghadapi fenomena kejahatan yang berkembang pada abad 21 seperti yang dikatakan Louise I. Shelley dan Mark Galeotti diatas.
Oleh karenanya, ASEAN sebagai organisasi regional yang mewadahi 10 negara di Asia Tenggara, harus berupaya semaksimal mungkin dalam menghadapi kejahatan transnasional ini dengan melaksanakan seluruh kespakatan yang telah dibuat.
DAFTAR PUSTAKA
Thomas L. Friedman, The Lexus and the Olive Tree: Understanding Globalization, New York, NY: Farrar, Straus, Giroux, 1999
John McFarlane dan Karen McLennan, Transnational Crime: The New Sucurity Paradigm, Working Paper No. 29, Canberra: Strategic and Defence Studies Centre, Australian National University, 1996.
Gerhard O. W. Mueller, "Transnational Crime, Definitions and Concepts":, dalam P. Williams dan D. Vlassis (eds), Combating Transnational Crime, a Special Issue of Transnational Organized Crime, 4 (3&4), Autum/Winter 1998
Ralf Emmers, The Securitization of Transnational Crime in ASEAN, Institute of Defence and Strategic Studies Singapore No. 39, November 200
Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, Jakarta, Grafiti 2004
Barry Buzan and Ole Weaver, Region and Power; the structure of international security, Cambrige, Cambridge University Press, 2003
Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, International Relationas Theory, USA, A Viacom Company 1999
Alan Collin, Security and Southeast Asia Domestic, Regional And Global Issues, Singapore, Institute of Southeast Asian Studies, 2003.
Alan Castle, Transnatonal Organized Crime and International Security, Working Paper, No. 19, Institute of International Relations the University of British Columbia, November 1997
P. William dan D. Vlassic, Combating Transnational Crime Special Issue of Transnational Organized Crime, 4 Autumn/Winter
Ralf Emmers, The Securitization of Transnational Crime in ASEAN, Institute of Defence and Strategic Studies Singapore, Working Paper No. 39, 2002
Paper, ASEAN’s Effort in Combating Terrorism and Transnastional Crime, Honolulu, AS, 16 November, 2004
Makalah, Makarim Wibisono Masyarakat Keamanan ASEAN, ASEAN Security Community,pada seminar Realisasi Visi ASEAN 2020, Gedung Caraka Loka, Jakarta, 14 Juli 2004
Handbook on Selescted, ASEAN Political Document
Printing paper, ASEAN Cooperation in Combating Transnational Crime, di dapat dari Sekretariat ASEAN, Pebruari 2005
ASEAN online, www.aseansec.org
Kompas, 7 Agustus 2004
[1] Menurut banyak pengamat seperti dalam laporan yang dikeluarkan International Crisis Group (ICG) yang diketuai Sidney Jones berjudul Al-Qaidah in Southeast Asia the Case of the Ngruki Network in Indonesia menyebutkan bahwa kelompok teroris yang beroperasi di Asia Tenggara khususnya Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Thailand adalah sempalan dari Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden. Al-Qaeda merupakan kelompok teroris kelas wahid internasional versi Amerika Serikat dan kini Al-Qaeda secara resmi telah tercantum dalam daftar terorisme global Perserikatan Bangsa-Bangsa. Lebih lanjut menurut laporan tersebut orang-orang Ngruki termasuk Abu Baskar Ba’asyir mempunyai kontak dengan biang aksi teror di kawasan Asia Tenggara (LIPI Press, 2005). Namun Abu Bakar Ba’asyr yang kini sedang dalam proses kasasi tidak terbukti terlibat kasus terorisme melainkan pelanggaran imigrasi (Adian Husaini, 2005).
[2] Joint Communique, Annual Conference of ASEAN Chiefs of Police (ASEANAPOL XXIV), Chiang Mai, Thailand, 20 August, 2004. Pada saat yang sama pihak Kepolisian negara-negara anggota ASEAN yang tergabung dalam ASEANPOL juga telah membuat kesepakatan guna memerangi kejahatan transnasional. Kesepakatan ini meliputi; pertukaran data intelejen, peningkatan koordinasi operasi diperbatasan, penyediaan kebutuhan yang diperlukan dalam operasi intelejen serta mendorong setiap negara anggota membuat perjanjian bilateral guna memfasilitasi kerjasama dalam menindak setiap pelaku kejahatan transnasional.
[3] Printing paper, ASEAN Cooperation in Combating Transnational Crime, di dapat dari Sekretariat ASEAN, Pebruari 2005
[4] Thomas L. Friedman, The Lexus and the Olive Tree: Understanding Globalization, New York, NY: Farrar, Straus, Giroux, 1999, dalam William r. Schroeder, Money laundering; A global threat and the international Community’s response, http://www.moneylundering/ theory, http://www.yahoo.com/
[5] Gerhard O. W. Mueller, “Transnational Crime, Definitions and Concepts:, dalam P. Williams dan D. Vlassis (eds), Combating Transnational Crime, a Special Issue of Transnational Organized Crime, 4 (3&4), Autum/Winter 1998, hal 18 dalam Ralf Emmers,The Securitization of Transnational Crime in ASEAN, Institute of Defence and Strategic Studies Singapore No. 39, November 2002, hal: 1
[6] Fulvio Attina, Globalization and crime, The emerging role of international institutions, Working Paper, Department of Political Studies - University of Catania, Pebruari 1997, hal: 1
[7] Gerhard Mueller, ibid, hal: 14
[8] Alan Colin, Op.Cit., hal 9
[9] ASEAN Declaration on Transnational Crime, Manila. Philipina, 1997
[10] Alan Castle, Transnatonal Organized Crime and International Security, Working Paper, No. 19, Institute of International Relations the University of British Columbia, November 1997, hal: 7
[11] Alan Castle, ibid
[12] John McFarlane dan Karen McLennan, Transnational Crime: The New Sucurity Paradigm, Working Paper No. 29, Canberra: Strategic and Defence Studies Centre, Australian National University, 1996, hal: 2
[13] Ralf Emmers, The Securitization of Transnational Crime in ASEAN, Institute of Defence and Strategic Studies Singapore, Working Paper No. 39, 2002 hal: 2
[14] Jawahir Thontowi, Pemberantasan Terorisme dalam Kaitannya dengan Penyelundupan Obat Terlarang, Senjata, dan Pencusian Uang di Kawasan Asia, Jurnal Hukum. No. 21 Vol. 9, September 2002, hal: 89
[15] Ralf Emmers, opcit, hal: 2
[16] ARF merupakan forum yang dibentuk oleh negara-negara yang tergabung dalam ASEAN dan negara-negara yang berada di Asia Pasifik. Forum ini bertujuan untuk menjaga perdamaian dikawasan Asia pasifik. Terdapat tiga tahap dalam mencapai tujuan tersebut yakni: (1) membangun rasa saling percaya (promotion of confidence-Building measures), (2) membangun mekanisme diplomasi preventif (development of preventive diplomacy mechanism) dan (3) membangun mekanisme resolusi konflik (development of conflict resolution mechanism). Hingga saat ini anggota ARF terdiri dari 22 negara yakni: Australia, Brunei Darussalam, Kamboja, Kanada, China, Uni Eropa, India, Indonesia, Jepang, Korea Utara, Korea Selatan, Laos, Malaysia, Myanmar, Mongolia, Selandia Baru, Pakistan, Papua Nugini, Filipina, Rusia, Singapura, Thailand, Amerika serikat, dan Vietnam.
[17] Berakhirnya perang dingin ini ditandai dengan runtuhnya tembok Berlin akibat bersatunya antara Jerman Barat dan Jerman Timur yang masing-masing merupakan representasi dari kekuatan bipolar dunia. Menurut Alan Collin semasa perang dingin kedua kekuatan dunia tersebut selain saling melakukan gertakan (deterrence) melalui unjuk kekuatan senjata canggih (nuklir) juga berupaya memperluas pengaruh ke negara-negara lain (satellite). Lihat Alan Collin, Security and Southeast Asia. Domestik, Regional and Global Issues, Singapore: Institute of ASEAN Studies, 2003 hal: 2; lebih lanjut Francis Fukuyama dalam bukunya The End of History juga menegaskan, kemenangan Barat merupakan kemenangan ide Barat, pertama-tama tampak dalam tergusurnya alternatif-alternatif yang sistematis bagi liberalisme Barat, The National Interest, Summer, 1989
[18] Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, International Relationas Theory, USA, A Viacom Company 1999, hal: 487
[19] Hassan Wirajuda, ASEAN Perlu Kerja keras, Kesabaran, dan Ketekunan, Kompas, 7 Agustus 2004.
[20] Barry Buzan and Ole Weaver, Region and Power; the structure of international security, Cambrige, Cambridge University Press, 2003, Dalam Alan Collin, Security and Southeast Asia. Domestik, Regional and Global Issues, Singapore: Institute of ASEAN Studies, 2003 , hal: 16.
[21] Deklarasi ASEAN, ASEAN Decleration on Transnational Crimes, Manila Filpina, 20 Desember 1997, ASEAN Secretariat, 15 Maret 2005
[22] Komunke Bersama, Second ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime Yangon, Myanmar 23 Juni 1999, ASEAN Secretariat, 15 Maret 2005
[23] Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, Jakarta, Grafiti 2004 hal: 293
[24] Komunike Bersama, Third ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime, Singapura 11 Oktober 2001, ASEAN Secretariat, 15 Maret 2005
[25] Program Kerja ASEAN, ASEAN work programme to Combat Transnational Crime Kuala Lumpur, Malaysia. 17 Mei 2002.
[26] ARF Statement on Measures Against Terrorist Financing Bandar Seri Begawan, 30 July 2002
[27] Komunike Bersama, ,Fourth ASEAN Ministerial meeting on Transnational Crime) Bangkok, Thailand, 8 Januari 2004, ASEAN Secretariat 15 Marte 2005
DAFTAR PUSTAKA
Thomas L. Friedman, The Lexus and the Olive Tree: Understanding Globalization, New York, NY: Farrar, Straus, Giroux, 1999
John McFarlane dan Karen McLennan, Transnational Crime: The New Sucurity Paradigm, Working Paper No. 29, Canberra: Strategic and Defence Studies Centre, Australian National University, 1996.
Gerhard O. W. Mueller, "Transnational Crime, Definitions and Concepts":, dalam P. Williams dan D. Vlassis (eds), Combating Transnational Crime, a Special Issue of Transnational Organized Crime, 4 (3&4), Autum/Winter 1998
Ralf Emmers, The Securitization of Transnational Crime in ASEAN, Institute of Defence and Strategic Studies Singapore No. 39, November 200
Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, Jakarta, Grafiti 2004
Barry Buzan and Ole Weaver, Region and Power; the structure of international security, Cambrige, Cambridge University Press, 2003
Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, International Relationas Theory, USA, A Viacom Company 1999
Alan Collin, Security and Southeast Asia Domestic, Regional And Global Issues, Singapore, Institute of Southeast Asian Studies, 2003.
Alan Castle, Transnatonal Organized Crime and International Security, Working Paper, No. 19, Institute of International Relations the University of British Columbia, November 1997
P. William dan D. Vlassic, Combating Transnational Crime Special Issue of Transnational Organized Crime, 4 Autumn/Winter
Ralf Emmers, The Securitization of Transnational Crime in ASEAN, Institute of Defence and Strategic Studies Singapore, Working Paper No. 39, 2002
Paper, ASEAN’s Effort in Combating Terrorism and Transnastional Crime, Honolulu, AS, 16 November, 2004
Makalah, Makarim Wibisono Masyarakat Keamanan ASEAN, ASEAN Security Community,pada seminar Realisasi Visi ASEAN 2020, Gedung Caraka Loka, Jakarta, 14 Juli 2004
Handbook on Selescted, ASEAN Political Document
Printing paper, ASEAN Cooperation in Combating Transnational Crime, di dapat dari Sekretariat ASEAN, Pebruari 2005
ASEAN online, www.aseansec.org
Kompas, 7 Agustus 2004
[1] Menurut banyak pengamat seperti dalam laporan yang dikeluarkan International Crisis Group (ICG) yang diketuai Sidney Jones berjudul Al-Qaidah in Southeast Asia the Case of the Ngruki Network in Indonesia menyebutkan bahwa kelompok teroris yang beroperasi di Asia Tenggara khususnya Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Thailand adalah sempalan dari Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden. Al-Qaeda merupakan kelompok teroris kelas wahid internasional versi Amerika Serikat dan kini Al-Qaeda secara resmi telah tercantum dalam daftar terorisme global Perserikatan Bangsa-Bangsa. Lebih lanjut menurut laporan tersebut orang-orang Ngruki termasuk Abu Baskar Ba’asyir mempunyai kontak dengan biang aksi teror di kawasan Asia Tenggara (LIPI Press, 2005). Namun Abu Bakar Ba’asyr yang kini sedang dalam proses kasasi tidak terbukti terlibat kasus terorisme melainkan pelanggaran imigrasi (Adian Husaini, 2005).
[2] Joint Communique, Annual Conference of ASEAN Chiefs of Police (ASEANAPOL XXIV), Chiang Mai, Thailand, 20 August, 2004. Pada saat yang sama pihak Kepolisian negara-negara anggota ASEAN yang tergabung dalam ASEANPOL juga telah membuat kesepakatan guna memerangi kejahatan transnasional. Kesepakatan ini meliputi; pertukaran data intelejen, peningkatan koordinasi operasi diperbatasan, penyediaan kebutuhan yang diperlukan dalam operasi intelejen serta mendorong setiap negara anggota membuat perjanjian bilateral guna memfasilitasi kerjasama dalam menindak setiap pelaku kejahatan transnasional.
[3] Printing paper, ASEAN Cooperation in Combating Transnational Crime, di dapat dari Sekretariat ASEAN, Pebruari 2005
[4] Thomas L. Friedman, The Lexus and the Olive Tree: Understanding Globalization, New York, NY: Farrar, Straus, Giroux, 1999, dalam William r. Schroeder, Money laundering; A global threat and the international Community’s response, http://www.moneylundering/ theory, http://www.yahoo.com/
[5] Gerhard O. W. Mueller, “Transnational Crime, Definitions and Concepts:, dalam P. Williams dan D. Vlassis (eds), Combating Transnational Crime, a Special Issue of Transnational Organized Crime, 4 (3&4), Autum/Winter 1998, hal 18 dalam Ralf Emmers,The Securitization of Transnational Crime in ASEAN, Institute of Defence and Strategic Studies Singapore No. 39, November 2002, hal: 1
[6] Fulvio Attina, Globalization and crime, The emerging role of international institutions, Working Paper, Department of Political Studies - University of Catania, Pebruari 1997, hal: 1
[7] Gerhard Mueller, ibid, hal: 14
[8] Alan Colin, Op.Cit., hal 9
[9] ASEAN Declaration on Transnational Crime, Manila. Philipina, 1997
[10] Alan Castle, Transnatonal Organized Crime and International Security, Working Paper, No. 19, Institute of International Relations the University of British Columbia, November 1997, hal: 7
[11] Alan Castle, ibid
[12] John McFarlane dan Karen McLennan, Transnational Crime: The New Sucurity Paradigm, Working Paper No. 29, Canberra: Strategic and Defence Studies Centre, Australian National University, 1996, hal: 2
[13] Ralf Emmers, The Securitization of Transnational Crime in ASEAN, Institute of Defence and Strategic Studies Singapore, Working Paper No. 39, 2002 hal: 2
[14] Jawahir Thontowi, Pemberantasan Terorisme dalam Kaitannya dengan Penyelundupan Obat Terlarang, Senjata, dan Pencusian Uang di Kawasan Asia, Jurnal Hukum. No. 21 Vol. 9, September 2002, hal: 89
[15] Ralf Emmers, opcit, hal: 2
[16] ARF merupakan forum yang dibentuk oleh negara-negara yang tergabung dalam ASEAN dan negara-negara yang berada di Asia Pasifik. Forum ini bertujuan untuk menjaga perdamaian dikawasan Asia pasifik. Terdapat tiga tahap dalam mencapai tujuan tersebut yakni: (1) membangun rasa saling percaya (promotion of confidence-Building measures), (2) membangun mekanisme diplomasi preventif (development of preventive diplomacy mechanism) dan (3) membangun mekanisme resolusi konflik (development of conflict resolution mechanism). Hingga saat ini anggota ARF terdiri dari 22 negara yakni: Australia, Brunei Darussalam, Kamboja, Kanada, China, Uni Eropa, India, Indonesia, Jepang, Korea Utara, Korea Selatan, Laos, Malaysia, Myanmar, Mongolia, Selandia Baru, Pakistan, Papua Nugini, Filipina, Rusia, Singapura, Thailand, Amerika serikat, dan Vietnam.
[17] Berakhirnya perang dingin ini ditandai dengan runtuhnya tembok Berlin akibat bersatunya antara Jerman Barat dan Jerman Timur yang masing-masing merupakan representasi dari kekuatan bipolar dunia. Menurut Alan Collin semasa perang dingin kedua kekuatan dunia tersebut selain saling melakukan gertakan (deterrence) melalui unjuk kekuatan senjata canggih (nuklir) juga berupaya memperluas pengaruh ke negara-negara lain (satellite). Lihat Alan Collin, Security and Southeast Asia. Domestik, Regional and Global Issues, Singapore: Institute of ASEAN Studies, 2003 hal: 2; lebih lanjut Francis Fukuyama dalam bukunya The End of History juga menegaskan, kemenangan Barat merupakan kemenangan ide Barat, pertama-tama tampak dalam tergusurnya alternatif-alternatif yang sistematis bagi liberalisme Barat, The National Interest, Summer, 1989
[18] Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, International Relationas Theory, USA, A Viacom Company 1999, hal: 487
[19] Hassan Wirajuda, ASEAN Perlu Kerja keras, Kesabaran, dan Ketekunan, Kompas, 7 Agustus 2004.
[20] Barry Buzan and Ole Weaver, Region and Power; the structure of international security, Cambrige, Cambridge University Press, 2003, Dalam Alan Collin, Security and Southeast Asia. Domestik, Regional and Global Issues, Singapore: Institute of ASEAN Studies, 2003 , hal: 16.
[21] Deklarasi ASEAN, ASEAN Decleration on Transnational Crimes, Manila Filpina, 20 Desember 1997, ASEAN Secretariat, 15 Maret 2005
[22] Komunke Bersama, Second ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime Yangon, Myanmar 23 Juni 1999, ASEAN Secretariat, 15 Maret 2005
[23] Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, Jakarta, Grafiti 2004 hal: 293
[24] Komunike Bersama, Third ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime, Singapura 11 Oktober 2001, ASEAN Secretariat, 15 Maret 2005
[25] Program Kerja ASEAN, ASEAN work programme to Combat Transnational Crime Kuala Lumpur, Malaysia. 17 Mei 2002.
[26] ARF Statement on Measures Against Terrorist Financing Bandar Seri Begawan, 30 July 2002
[27] Komunike Bersama, ,Fourth ASEAN Ministerial meeting on Transnational Crime) Bangkok, Thailand, 8 Januari 2004, ASEAN Secretariat 15 Marte 2005
0 Comments:
Post a Comment
<< Home