Monday, April 03, 2006

Upaya Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura Sebagai Langkah Awal Pembentukan Konvensi Ekstradisi ASEAN


Upaya Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura
Sebagai Langkah Awal Pembentukan
Konvensi Ekstradisi ASEAN

Riza Ananda

Ekstradisi mengambil peranan penting dalam mewujudkan kepastian hukum yang melintasi batas negara, dimana seseorang yang melakukan pelanggaran hukum di sebuah negara dan melarikan diri ke negara lainnya, terhadap orang tersebut bisa dikenakan tuntutan atau dakwaan terhadapnya melalui mekanisme ekstradisi. Pranata hukum ekstradisi ini telah diterapkan sejumlah negara dalam upaya mengembalikan seseorang yang disangka atau dituduh melakukan tindakan melanggar hukum. Kasus Noriega, Shah Iran, John Demanjuk, dan upaya pengekstradisian terhadap Ratco Mladic salah satu penjahat perang Serbia, merupakan beberapa contoh bagaimana ekstradisi mengambil tempat penting bagi semua pihak agar hukum dapat ditegakkan terhadap para pelanggarnya.
Sebelum mengenal lebih jauh apakah yang dimaksud dengan ekstradisi itu dan bagaimana penerapannya, ada baiknya untuk mengetahui beberapa asas-asas penting di dalam hukum internasional yang didalamnya menyangkut substansi dari hukum pidana nasional sebuah negara dan sangat berkaitan erat dengan pelaksanaan ekstradisi, beberapa asas tersebut adalah:

Asas Teritorial
Kedaulatan teritorial suatu negara melahirkan yurisdiksi teritorial berupa hak atau kekuasaan atau kewenangan suatu negara untuk mengatur segala sesuatu yang terjadi di wilayah negaranya berdasarkan hukum internasional. Salah satu wujudnya adalah memberlakukan hukum nasional (termasuk hukum pidana nasionalnya) dalam batas-batas wilayah negara terhadap setiap orang, baik warga negara sendiri ataupun orang asing yang berada di wilayahnya, yang melakukan suatu peristiwa hukum, termasuk di wilayah negara yang bersangkutan.
Melalui asas ini negara mempunyai kedaulatan terhadap daerahnya, dan negara berhak menegakkan hukum terhadap semua warganegaranya termasuk warganegara asing yang melakukan tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan didalam wilayah negaranya sendiri.
Asas Kewarganegaraan (Nasionalitas) Aktif
Menurut asas ini seseorang yang berada di wilayah negara lain, tunduk terhadap dua hukum yaitu hukum nasional negaranya dan hukum negara setempat. Sebab kewarganegaraan (nasionalitas) aktif ini didasarkan pada adanya hubungan antara negara dengan warganegaranya yang berada di luar wilayah negaranya.
Dengan asas ini seseorang yang melakukan pelanggaran hukum di luar wilayah negaranya sendiri atau di negara asing, tetap bisa dijatuhi tuntutan dari negara asalnya sebab hukum nasional negaranya mengikat terhadap setiap warganegaranya.
Asas Kewarganegaraan (Nasionalitas) Pasif
Suatu negara memiliki yurisdiksi terhadap seseorang yang bukan warganegaranya yang melakukan tindakan melanggar hukum di negaranya, atau warganegaranya sendiri yang melakukan pelanggaran hukum di wilayah negara lain. Disini berlaku asas kewarganegaraan (nasionalitas) pasif.

Asas Universal
Yang dimaksud dengan asas universal adalah dimana suatu negara memiliki yurisdiksi atas pelaku kejahatan dimanapun dan kapanpun kejahatan itu dilakukan, siapapun pelakunya dan siapapun korbannya. Kejahatan-kejahatan yang ditundukkan dalam yurisdiksi ini adalah kejahatan yang digolongkan sebagai musuh umat manusia seperti kejahatan terorisme, genocide, narkotika, kejahatan perang, dan sebagainya.
Asas ini diharapkan dapat menciptakan kestabilan, keamanan, ketentraman, dan perdamaian di muka bumi, setelah banyaknya kasus-kasus yang mengguncang dunia seperti pembantaian manusia, perbudakan, terorisme, dan lain-lain yang membuat hukum sulit ditegakkan karena pelaku-pelaku tindak kejahatan seperti itu selalu bersembunyi di balik kekuasaan yang dimiliki, karena umumnya otak kejahatan tindakan itu adalah para penguasa atau para Jenderal perang yang sulit untuk dihadapkan ke muka peradilan.

Prinsip Dasar Ekstradisi

Berdasarkan asas umum dalam hukum internasional, setiap negara memiliki kekuasaan tertinggi atau kedaulatan atas orang dan benda yang ada dalam wilayahnya sendiri. Oleh karena itu suatu negara tidak boleh melakukan tindakan yang bersifat kedaulatan di dalam wilayah negara lain, kecuali dengan persetujuan negara itu sendiri. Sebab tindakan itu dipandang sebagai intervensi atau campur tangan terhadap masalah dalam negeri negara lain, yang dilarang menurut hukum internasional. Dalam hubungannya dengan pelaku kejahatan yang melarikan diri atau berada di wilayah negara lain, maka negara yang memiliki yurisdiksi atas si pelaku kejahatan atau kejahatannya itu, misalnya negara tempat kejahatan dilakukan, tidak boleh melakukan penangkapan dan penahanan secara langsung di dalam wilayah negara tempat si pelaku kejahatan itu berada. Seolah-olah pelaku kejahatan yang demikian ini memperoleh kekebalan dari tuntutan hukum. Tetapi jika hal ini dibiarkan maka akan mendorong setiap pelaku kejahatan untuk melarikan diri ke negara lain untuk memperoleh perlindungan. Dan berkeliarannya pelaku kejahatan di negara lain tentu akan menimbulkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat dan pelecehan terhadap hukum atau peraturan-peraturan yang ada.
Agar orang-orang semacam ini tidak lepas tanggung jawabnya atas kejahatan yang telah dilakukan, maka diperlukan kerjasama untuk mencegah dan memberantasnya. Kerjasama ini bisa diwujudkan dalam bentuk bilateral atau multilateral, sesuai dengan kebutuhannya. Oleh karena negara-negara yang memiliki yurisdiksi terhadap si pelaku kejahatan tidak bisa menangkap secara langsung di wilayah negara si pelaku kejahatan berada, negara-negara tersebut dapat menempuh cara yang legal untuk bisa mengadili dan menghukum si pelaku kejahatan tersebut. Negara-negara yang memiliki yurisdiksi ini bisa meminta kepada negara tempat si pelaku kejahatan berada untuk menangkap dan menyerahkan dia. Sedangkan negara tempat si pelaku kejahatan berada, setelah menerima permintaan dapat menyerahkan si pelaku kejahatan itu kepada negara yang mengajukan permintaan. Cara atau prosedur semacam ini telah diakui dan merupakan prosedur yang telah umum dianut baik dalam hukum nasional maupun hukum internasional yang lebih dikenal dengan nama ekstradisi.
Menurut Charles G. Fenwick, ekstradisi adalah suatu penyerahan yang dilakukan melalui izin dan disampaikan dengan permintaan formal, berdasarkan kondisi penahanan si tersangka sesuai dengan kewajiban umum yang terdapat dalam kesepakatan perjanjian.[1]
Sedangkan menurut D. W. Greig, ekstradisi adalah penyerahan yang dilakukan oleh sebuah negara kepada negara lainnya terhadap seseorang yang dianggap atau dituduh melakukan tindakan kriminal, dimana negara tempatnya melakukan kejahatan mempunyai kemampuan territorial untuk melakukan yurisdiksi.[2]
Menurut Mohd. Burhan Tsani, ekstradisi adalah penyerahan resmi yang dilakukan, atas dasar perjanjian internasional atau komitas, oleh suatu negara kepada negara lain, yang memintanya, seseorang yang dituduh atau dapat dihukum karena tindak kejahatan terhadap hukum negara peminta, proses ekstradisi dilaksanakan melalui saluran diplomatik.[3]
Penjelasan secara lebih rinci terdapat dalam pemaparan I Wayan Parthiana yang menyebutkan bahwa ekstradisi adalah penyerahan yang dilakukan secara formal baik berdasarkan perjanjian ekstradisi yang diadakan sebelumnya atau berdasarkan prinsip timbal balik, atas seorang yang dituduh melakukan tindak pidana kejahatan (tersangka, tertuduh, terdakwa) atau atas seorang yang telah dijatuhi hukuman atas kejahatan yang dilakukannya (terhukum, terpidana), oleh negara tempatnya melarikan diri atau berada atau bersembunyi, kepada negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya, atas permintaan dari negara tersebut dengan tujuan untuk mengadili atau melaksanakan hukumannya.[4]
Penjelasan yang disebut I Wayan Parthiana diatas lebih tepat untuk mengetahui maksud dari ekstradisi secara keseluruhan. Dari pengertian itu bisa dilihat jika prosedur yang akan dilakukan sebuah negara untuk meminta penyerahan seseorang, harus berlandaskan prosedur yang ketat dan berbelit-belit, langkah ini diambil untuk menjamin bahwa hak asasi dari si pelaku kejahatan tersebut tetap dihormati. Hal ini tidak mengherankan sebab ekstradisi lahir dan berkembang selaras dengan pertumbuhan dan perkembangan hak-hak asasi manusia itu sendiri, sehingga bisa dipahami jika penghormatan atas hak asasi manusia sangat dominan didalamnya.

Unsur – Unsur Pembentuk Ekstradisi[5]
Ekstradisi mempunyai beberapa unsur utama, antara lain:
1. Unsur Subjek, yang terdiri atas:
Negara atau negara-negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya. Negara-negara inilah yang sangat berkepentingan untuk mendapat kembali orang tersebut untuk atau dihukum atas kejahatan yang telah dilakukannya itu. Jumlah negara yang memiliki yurisdiksi ini bisa lebih dari satu negara. Untuk mendapatkan orang yang bersangkutan, negara ini harus mengajukan permintaan penyerahan kepada negara tempat orang itu berada atau bersembunyi. Negara atau negara-negara ini berkedudukan sebagai pihak yang meminta atau disebut ”negara-peminta” (the Requesting State).
Negara tempat si pelaku kejahatan (tersangka, tertuduh, terdakwa) atau si terhukum itu berada atau bersembunyi. Negara ini diminta oleh negara atau negara-negara yang memiliki yurisdiksi atau negara-peminta, supaya menyerahkan orang yang berada di wilayahnya itu, biasanya disebut ”negara-diminta” (the Requested State).
2. Unsur Objek, yaitu si pelaku kejahatan itu sendiri (tersangka, tertuduh, terdakwa, atau terhukum) yang diminta oleh negara-peminta kepada negara-diminta supaya diserahkan. Dia inilah yang dengan singkat disebut sebagai ”orang yang diminta”. Dia hanya sebagai objek saja yang menjadi pokok masalah antara kedua pihak. Tetapi sebagai manusia dia harus tetap diperlakukan sebagai subjek hukum dengan segala hak dan kewajibannya yang asasi, yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun juga.
3. Unsur tata cara atau prosedur, yang meliputi tentang tata cara untuk mengajukan permintaan penyerahan maupun tata cara untuk menyerahkan atau menolak penyerahan itu sendiri serta segala hal yang ada hubungannya dengan itu. Penyerahan hanya dapat dilakukan, apabila diajukan permintaan untuk menyerahkan oleh negara-peminta kepada negara-diminta. Permintaan tersebut haruslah didasarkan pada perjanjian ekstradisi yang telah ada sebelumnya antara kedua belah pihak. Apabila perjanjian itu belum ada, juga bisa didasarkan pada asas timbal balik yang telah disepakati. Permintaan penyerahan itu sendiri harus diajukan secara formal kepada negara-diminta, sesuai dengan prosedur yang ditentukan dalam perjanjian ekstradisi atau hukum kebiasaan internasional.
4. Unsur tujuan, yaitu untuk tujuan apa yang bersangkutan dimintakan penyerahan atau diserahkan. Penyerahan itu dimintakan oleh negara-peminta kepada negara-diminta karena dia telah melakukan kejahatan yang menjadi yurisdiksi negara atau negara-negara peminta. Permintaan penyerahan atau penyerahan itu sendiri bertujuan untuk mengadili atau menghukum si pelaku kejahatan itu, sebagai realisasi dari kerjasama antar negara-negara tersebtu dalam menanggulangi dan memberantas kejahatan.

Asas - Asas Pokok Ekstradisi
Setelah dijelaskan unsur-unsur yang terdapat dalam ekstradisi, sebuah perjanjian ekstradisi juga mengandung beberapa asas pokok, yaitu:
1. Asas Kejahatan Ganda atau Double Criminality
Ekstradisi secara tegas mensyaratkan bahwa kejahatan yang dijadikan sebagai dasar untuk meminta penyerahan atas diri si pelaku oleh negara-peminta, haruslah juga merupakan kejahatan menurut hukum negara-diminta. Jadi baik negara-peminta maupun negara-diminta harus sama-sama memandang perbuatan orang yang diminta itu sebagai peristiwa pidana atau kejahatan.
Asas ini merupakan salah satu asas utama dalam prinsip dasar ekstradisi, sebab apabila negara-diminta melihat bahwa perbuatan yang dilakukan orang yang diminta itu bukan merupakan kejahatan menurut hukum nasionalnya, maka negara-diminta harus menolak permintaan ekstradisi dari negara-peminta.

2. Asas Kekhususan atau Asas Spesialitas
Negara-peminta dalam hal mengajukan permintaan kepada negara-diminta untuk menyerahkan orang yang disangka melakukan kejahatan, haruslah mengkhususkan pada kejahatan apa yang akan diadili oleh hukum negara-peminta nantinya. Sebagai contoh apabila dasar kejahatan yang diminta oleh negara-peminta terhadap seseorang itu adalah pembunuhan, maka negara-peminta tersebut haruslah mengadili atau menjatuhkan hukuman hanya terhadap kejahatan pembunuhan itu saja. Diluar dari kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta penyerahan tersebut, megara-peminta tidak boleh menjatuhkan hukuman terhadap orang tersebut.

3. Asas Tidak Menyerahkan Pelaku Kejahatan Politik
Permintaan penyerahan terhadap diri seseorang tidak diperbolehkan apabila kejahatan yang dijadikan dasar untuk meminta penyerahan adalah kejahatan politik. Pada awalnya kejahatan politik dan kejahatan biasa dapat dibedakan dengan mudah, namun yang terjadi adalah banyaknya kasus yang memperlihatkan bahwa kejahatan yang diluar tampak sebagai kejahatan biasa tetapi didalamnya terdapat motif-motif dan tujuan politik sehingga dianggap sebagai kejahatan politik.
Belakangan ini terdapat kecenderungan dari negara-negara untuk menghapuskan sifat politik dari suatu jenis kejahatan, agar kejahatan tersebut dipandang bukan sebagai kejahatan politik. Penghapusan tersebut ditegaskan dalam perjanjian-perjanjian ekstradisi bilateral maupun multilateral. Misalnya Perjanjian Ekstradisi Austria-Israel pasal 4 (1) secara tegas menyatakan bahwa Genocide seperti dinyatakan pada konvensi Genocide 1948 bukan merupakan kejahatan politik.[6]
Sebab banyak pelaku kejahatan seakan berlindung dibalik kejahatan politik untuk menghindari penyerahan, dan dengan dihapusnya sifat politik suatu kejahatan tersebut membuat negara-diminta mempunyai keterbatasan dalam menentukan apakah sebuah kejahatan tergolong sebagai kejahatan politik atau tidak.

4. Asas Tidak Menyerahkan Warga Negara
Asas ini memberikan kewenangan kepada negara untuk tidak menyerahkan warga negaranya sendiri yang dituduh melakukan kejahatan di dalam wilayah negara lain. Jika orang yang diminta adalah warga negara dari negara-diminta, maka negara tersebut berhak untuk menolak permintaan ekstradisi yang diajukan.
Kewarganegaraan mempunyai peranan penting karena menyangkut status seseorang. Negara memberikan hak-hak dan membebani kewajiban-kewajiban terhadap warga negaranya tetapi tidak bagi orang asing. Orang asing diperlakukan berbeda dengan warga negara sendiri. Tidak diserahkannya warga negara dari negara-diminta kepada negara-peminta berdasarkan pertimbangan bahwa negara mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan hukum terhadap warga negaranya

5. Asas Non Bis In Idem
Yang dimaksud dengan asas ini adalah bahwa seseorang tidak boleh diadili dan dihukum lebih dari satu kali untuk satu kejahatan yang sama. Asas ini mempunyai arti penting bagi kepastian hukum terhadap si terhukum, sebab apabila dia telah dijatuhi hukuman oleh keputusan hakim dari pengadilan yang berwenang berlaku seterusnya. Asas ini menjamin penegakkan hak asasi manusia terhadap si pelaku.
Sebagai contoh seorang warga negara Malaysia melakukan pembunuhan terhadap seorang warga negara Cina di Indonesia. Berdasarkan asas teritorial Indonesia mempunyai yurisdiksi untuk mengadili tersangka tersebut demikian juga Malaysia berdasarkan asas nasionalitas aktif. Dalam hal ini Indonesia telah menjatuhkan hukuman terhadap warga negara Malaysia tersebut, kemudian Malaysia meminta penyerahannya kepada Indonesia. Karena pengadilan Indonesia telah menjatuhkan hukuman yang mengikat terhadap si pelaku, maka Indonesia harus menolak permintaan Malaysia dengan alasan kejahatan yang dijadikan dasar untuk meminta penyerahan sudah non bis in idem.


6. Asas Kadaluwarsa
Maksud dari asas ini adalah jika suatu peristiwa hukum terjadi sudah sekian lama dan selama ini tetap dibiarkan saja oleh semua pihak sehingga sudah dilupakan orang, maka setelah melewati jangka waktu tertentu sudah tidak bisa ditindaklanjuti kembali. Mengenai berapa lama jangka waktunya tergantung dari sistem hukum masing-masing negara.

Permulaan Ekstradisi
Pada permulaan tahun 1625 Grotius menyadari bahwa kebutuhan sosial dan kewajiban dari hukum alam, bahwa sebuah negara mampu mengadili penjahat kriminal di negaranya sendiri atau menyerahkannya kepada negara lain yang mempunyai kekuatan hukum untuk mengadili si pelaku kejahatan tersebut. Tetapi kewajiban ekstradisi ini tidak berdasar hukum resmi sampai kedua negara membuat sebuah perjanjian yang didalamnya terdapat kewajiban untuk menyerahkan seorang pelarian kejahatan. Walaupun tanpa adanya perjanjian ekstradisi, kedua negara tetap bisa menyerahkan pelaku berdasarkan prinsip sukarela. Pada perjanjian awal hanya kejahatan politik saja yang bisa dijadikan alasan untuk meminta ekstradisi, tetapi setelah Vattel pada tahun 1758 menerbitkan buku Droit des gens, kejahatan biasa juga dimasukkan kedalam sebuah perjanjian.[7]
Bentuk perjanjian awal tersebut yang menyebutkan hanya kejahatan politik saja yang bisa dijadikan alasan untuk meminta ekstradisi, sangat berbeda sekali dengan bentuk perjanjian modern saat ini, yang justru tidak menghendaki kejahatan politik sebagai alasan penyerahan. Ini bisa dilihat bahwa pada awal terciptanya ekstradisi, kejahatan politik saat itu lebih mendominasi dibanding jenis kejahatan lainnya.
Pada pertengahan abad ke 18, Prancis mempunyai perjanjian ekstradisi bilateral dengan seluruh negara tetangganya, kecuali Inggris Raya. Perjanjian pada tahun 1759 antara Prancis dan Wurttemberg merupakan bentuk perjanjian ekstradisi pertama di era modern.[8] Aturan dan prosedur yang dibuat pada perjanjian awal ini sama seperti hukum ekstradisi yang dipakai saat ini. Aturan yang dikehendaki adalah perjanjian ekstradisi bisa dilakukan melalui saluran diplomatik, atau paling tidak melalui otoritas perbatasan. Negara penuntut diharuskan membuat daftar tuduhan dan hukuman didalam tuntutannya.
Biasanya sebuah negara harus mempunyai Undang-Undang Ekstradisi Nasional terlebih dahulu sebelum membuat perjanjian ekstradisi dengan negara lain, tetapi Indonesia berbeda. Indonesia telah memiliki perjanjian ekstradisi dengan negara-negara tetangga seperti dengan Malaysia pada tahun 1974, dengan Philipina tahun 1976, dan dengan Thailand tahun 1978, sebelum membuat Undang-Undang Nomor 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi.

Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura
Langkah Baru Membina Hubungan Kedua Negara

Hubungan Indonesia – Singapura
Indonesia dan Singapura mempunyai hubungan bilateral yang relatif pasang surut, kedua negara berusaha mewujudkan kepentingan nasionalnya masing-masing. Hubungan kedua negara sering diwarnai dengan pernyataan kontroversial mantan perdana menteri Singapura Lee Kuan Yew yang menyudutkan Indonesia, seperti ketika menganggap Indonesia sebagai sarang teroris, dan membuat merah hampir seluruh telinga pejabat-pejabat tinggi Indonesia. Ada keinginan untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan Singapura yang diusulkan anggota DRR-RI.
Singapura mempunyai keinginan untuk memperluas wilayahnya dengan cara reklamasi pantai. Hal ini jelas akan menimbulkan masalah perbatasan dengan Indonesia dan Malaysia, di lain pihak pembangunan reklamasi pantai tersebut membutuhkan pasir yang tidak sedikit jumlahnya, dan pasir tersebut berasal dari Kepulauan Riau. Ekosistem Kepulauan Riau menjadi terancam akibat hal ini.
Selain itu, Singapura menolak pemberantasan kayu dan ikan dari Indonesia ke Singapura. Alasannya, pada saat masuk ke Singapura barang-barang tersebut membayar bea masuk, bukankah itu bisa dinamakan pemutihan? Pemerintah Indonesia lalu ingin meminta pembagian keuntungan dari hasil penjualannya, tetapi lagi-lagi ditolak oleh Singapura karena menganggap itu adalah urusan swasta.
Kemudian, belum transparannya laporan data perdagangan Singapura. Seperti negara-negara lainnya, Singapura setiap tahun selalu mengeluarkan data transaksi perdagangan dengan negara-negara lain, tetapi sering tidak muncul data perdagangan dengan Indonesia. Tidak transparannya pengungkapan data ini tentu bisa menimbulkan kesalahpahaman. Apakah memang sulit dilacak atau memang ada perdagangan gelap. Dengan ini, kecurigaan muncul terhadap pemerintahan Singapura.
Perubahan sikap Singapura baru terjadi ketika Lee Hsien Loong menjadi Perdana Menteri menggantikan Goh Chok Tong. BG Lee terlihat sekali ingin membina hubungan baik dengan Indonesia melalui pembicaraan perjanjian ekstradisi. Singapura sebagai negara yang mengandalkan sektor jasa dalam pertumbuhan ekonominya, sangat jelas membutuhkan hubungan baik dengan negara-negara tetangganya.

Perjanjian Ekstradisi Indonesia – Singapura
Indonesia dan Singapura bersepakat untuk memiliki perjanjian ekstradisi yang sudah dijajaki sejak tahun 1974.[9] Jarak Indonesia – Singapura yang hanya “sejengkal” menjadi sangat ironis ketika seorang koruptor yang diburu oleh Indonesia dan diduga bersembunyi di Singapura, sangat sulit ditangkap dan diadili di Indonesia karena tersangkut masalah perjanjian ekstradisi.
Tetapi satu hal yang pasti adalah bahwa perjanjian ekstradisi Indonesia – Singapura bukanlah penyelesaian mutlak untuk pemberantasan korupsi di Indonesia. Tindakan tegas dan cepat dari aparat untuk memburu para tersangka korupsi sangat dibutuhkan guna terciptanya penegakan hukum di negara kita.
Banyaknya koruptor kelas kakap yang berlindung di Singapura membuat perjanjian ekstradisi menjadi sangat penting, dan diharapkan pemerintah Singapura bisa berperan aktif dalam membawa mereka kembali ke Indonesia untuk diadili. Di antara para koruptor yang dikejar oleh Kejaksaan Agung untuk dieksekusi ke penjara menyangkut kasus penyelewengan dan penyimpangan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang dikenal dengan kasus BLBI, antara lain Samadikun Hartono (Bank Modern), David Nusa Wijaya (Bank Umum Servitia), dan Bambang Sutrisno (Bank Surya), dan terakhir Maria Pauline Leumowa tersangka pembobol BNI dengan kerugian negara sebesar 1,7 triliun.[10]
Walaupun nama-nama tersebut telah diketahui keberadaannya, permintaan untuk menyerahkan orang-orang tersebut selalu terhambat karena ketiadaan perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura. Perjanjian ekstradisi Indonesia dan Singapura juga akan menjadi tonggak yang tepat untuk mencegah terjadinya kasus-kasus serupa mengenai pemindahan dana-dana haram ke Singapura, sebab jika terjadi hal-hal yang demikian pemerintah Indonesia bisa mengambil langkah represif untuk menindak pelaku kejahatan tersebut agar diadili dan dihukum di Indonesia.

Keuntungan Singapura
Singapura memperoleh keuntungan besar dari keberadaan dana-dana dari oknum-oknum di Indonesia, bahkan keberadaan konglomerat yang melarikan diri dalam status terdakwa di Indonesia. Undang-undang investasi disana sangat “welcome” penanaman modal orang-orang asing, justru itu menjadi bagian penting untuk meningkatkan kesejahteraan disana. Negeri itu merupakan “safe haven” (tempat suaka aman). Padahal, banyak di antara mereka terlibat dalam kegiatan “safe-cracking” (pembongkaran peti besi alias manipulasi). Selamat, karena tidak adanya perjanjian ekstradisi antara kedua negara. Pihak berwajib Indonesia tidak bisa berbuat apa-apa. Pada masa lalu, di kalangan Pengamat Indonesia ada kesan, Singapura menunjukkan sikap “buying time” (mengulur-ulur waktu). Di pihak lain, ada juga kesan, pihak terkait Indonesia juga belum secara serius dan integrated (terpadu) berusaha mewujudkan perjanjian ekstradisi antara kedua negara.[11]
Sudah sejak lama Indonesia menginginkan perjanjian ekstradisi dengan Singapura, tetapi selalu ditolak oleh negara pulau tersebut. Karena ketiadaan perjanjian ekstradisi tersebut, seringkali menjadi penghalang terciptanya hubungan baik antara kedua negara.

Bentuk Perjanjian Ekstradisi
Perjanjian ekstradisi pada intinya mengatur penyerahan seseorang oleh suatu negara ke negara yang meminta orang itu diserahkan. Permintaan muncul karena yang bersangkutan disangka telah melakukan tindak pidana. Meskipun Indonesia telah memiliki Undang – Undang (UU) tentang Ekstradisi, yaitu UU Nomor 1 Tahun 1979, UU tersebut hanya efektif jika ada perjanjian ekstradisi dengan negara mitra.
Indonesia bersama negara-negara ASEAN lainnya pada bulan November 2004 telah menyepakati perjanjian mengenai Mutual Legal Assistance (atau bantuan hukum timbal balik), tetapi Mutual Legal Assistance ini hanya dianggap sebagai bentuk semangat kerja sama di antara negara-negara ASEAN untuk memerangi korupsi di negara masing-masing, sedangkan permasalahan ekstradisi menyangkut hubungan antar negara atau government to government.
Dalam menyusun list of crime dengan Singapura, Indonesia akan lebih berhati-hati memasukkan tindak kejahatan mana saja yang masuk dalam daftar. Jika merujuk pada UU No.1 tahun 1979 tentang ekstradisi, daftar tindak kejahatan yang terdapat dalam UU tersebut mempunyai banyak kekurangan untuk diterapkan dalam kondisi sekarang, karena munculnya berbagai bentuk kejahatan baru. Dalam UU Ekstradisi tahun 1979 disebutkan ada 32 jenis kejahatan yang bisa menjadi obyek ekstradisi. Tetapi di daftar itu tidak disebutkan soal jenis-jenis kejahatan mutakhir seperti pencucian uang, imigran gelap, dan lain sebagainya. Bukan berarti UU No.1 tahun 1979 harus diubah, karena Indonesia bisa menggunakan perjanjian internasional yang lain yang sudah ditandatangani.
Untuk kasus-kasus korupsi, pemerintah Indonesia harus lebih proaktif menyidik kekayaan pelaku korupsi yang berhasil melarikan diri ke luar negeri. Di antaranya, mengoptimalkan peran Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan atau PPATK, serta aparat kepolisian. Kepolisian Indonesia sebenarnya telah mengantongi baik nama maupun alamat para pelaku tindak pidana korupsi yang lari ke luar negeri. Langkah polisi selalu kandas, karena tidak didukung perjanjian ekstradisi.[12] Selain itu perlu ditekankan keseriusan pemerintah terutama pihak kepolisian untuk bertindak cepat dalam menindaklanjuti kasus-kasus kejahatan yang dilakukan warga negara Indonesia seperti korupsi yang sangat merugikan keuangan negara. Langkah polisi harus pula didukung sepenuhnya oleh elemen-elemen lain yang berkaitan seperti Kejaksaan Agung ataupun Departemen Luar Negeri, agar penegakkan hukum yang dilakukan bisa menemui hasil yang maksimal.
Perjanjian ekstradisi merupakan langkah awal penegakan hukum, khususnya berkaitan dengan korupsi. Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan negara lain dapat memberikan akses kepada penegak hukum Indonesia untuk menjangkau koruptor yang kabur ke negara terkait. Selama ini baik tersangka, terdakwa, maupun terpidana kasus korupsi sulit disentuh oleh tindakan hukum karena bersembunyi di luar negeri, jauh dari jangkauan penegak hukum Indonesia. Dengan adanya perjanjian ekstradisi, penegak hukum dapat menyentuh koruptor yang berada di negara yang bersangkutan berlandaskan perjanjian ekstradisi sebagai kepastian hukum bagi semua pihak.
Berdasarkan enam kali perundingan, Indonesia dan Singapura telah menyepakati 10 pasal perjanjian ekstradisi dari 18 pasal yang ada. Tetapi masih banyak hal yang perlu dibahas lebih lanjut karena berhubungan dengan sinkronisasi terhadap Undang-Undang di dalam negeri. Sehingga hal tersebut sudah menyangkut ke persoalan yang lebih teknis.[13] Diharapkan dalam waktu dekat perjanjian ini bisa dirampungkan, sebab kedua belah pihak telah menunjukkan itikad baik dalam merumuskan berbagai kesepakatan yang diinginkan.


Pembentukan Konvensi Ekstradisi ASEAN
Negara-negara anggota Association of South East Asian Nations (ASEAN) telah banyak melakukan kerjasama di berbagai bidang yang saling menguntungkan di antara mereka. Kerjasama yang telah dilakukan juga meliputi bidang hukum yaitu dengan dibentuknya ASEAN LAW ASSOCIATION (ALA) yang merupakan organisasi internasional non-pemerintah (non-governmental organization), dimana disini sering dilakukan pertemuan-pertemuan para ahli hukum dari negara-negara anggota ASEAN.[14]
Dalam kerjasama hukum tersebut harus pula dipikirkan untuk membuat suatu hukum internasional regional dimana ia akan mencakup kaidah-kaidah hukum internasional yang tumbuh dan berkembang di dalam satu kawasan yang berlaku dan ditaati oleh negara-negara di kawasan tersebut. Dalam kaitannya dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara adalah perlu untuk membentuk hukum internasional regional Asia Tenggara yang harus dirumuskan dalam bentuk konvensi-konvensi regional Asia Tenggara.
Konvensi regional yang nantinya akan sangat berguna adalah dengan membentuk suatu konvensi ekstradisi ASEAN. Mengapa ekstradisi yang harus ditonjolkan di dalam kerjasama ini, diantaranya karena ekstradisi telah mengambil peranan penting dalam hukum nasional masing-masing negara anggota ASEAN, dimana ekstradisi erat kaitannya dengan membina hubungan baik dengan negara-negara lain. Kemudian beberapa negara anggota ASEAN telah terikat dalam perjanjian ekstradisi yang bersifat bilateral, akan lebih baik jika perjanjian-perjanjian diantara negara-negara itu dipadukan dengan sebuah konvensi ekstradisi yang akan saling melengkapi dan menunjang. Selain itu dengan semakin berkembang pesatnya kejahatan-kejahatan yang bersifat transnasional yang terjadi di kawasan Asia Tenggara, membuat konvensi ekstradisi ASEAN menjadi hal yang sangat dibutuhkan guna menanggulangi dan mencegah kejahatan tersebut terulang lagi.

Konvensi Multilateral
Pada konvensi multilateral menyangkut pelanggaran dalam kejahatan internasional, ekstradisi belum bisa dilihat sebagai alasan bagi sebuah negara untuk meminta penyerahan sebelum negara-negara peserta konvensi harus memasukkan kejahatan-kejahatan menurut karakter internasional tersebut kedalam sifat ekstradisi. Walaupun beberapa negara tidak terikat kedalam perjanjian bilateral diantaranya, konvensi multilateral ini bisa dilihat sebagai dasar hukum yang kuat untuk mengekstradisikan seorang pelanggar kejahatan.[15]
Penjelasan diatas menekankan bahwa isi dari konvensi multilateral harus mampu merangkum kejahatan-kejahatan internasional yang berkembang saat ini kedalam jenis-jenis kejahatan apa saja yang bisa dijadikan dasar untuk melakukan permintaan. Negara-negara peserta konvensi harus bisa menyepakati jenis-jenis kejahatan tersebut sehingga konvensi ini lebih komprehensif untuk mewujudkan sebuah dasar hukum yang tegas.
Beberapa kawasan lain di dunia telah memiliki konvensi ekstradisi regional seperti Perjanjian Ekstradisi Liga Arab tahun 1952, Konvensi Ekstradisi Eropa tahun 1957, Konvensi Ekstradisi Benelux antara Belgia, Nederland, Luxemburg tahun 1962, Konvensi Ekstradisi antar Amerika tahun 1981. Dengan beberapa contoh konvensi regional tersebut bisa menjadi referensi bagi negara-negara ASEAN untuk membentuk sebuah konvensi ekstradisi regional ASEAN.

Hambatan - Hambatan
Pembentukan konvensi ekstradisi ini nantinya tidak terlepas dari beberapa hambatan-hambatan diantaranya yaitu masih besarnya perbedaan sistem hukum dari masing-masing negara anggota ASEAN. Perbedaan sistem hukum ini berpengaruh terhadap perbedaan hukum nasional masing-masing negara termasuk hukum pidananya. Akibatnya akan sulit mencari kesepakatan tentang jenis-jenis kejahatan yang dapat dijadikan dasar untuk mengekstradisikan si pelaku tindak pidana tersebut, karena suatu perbuatan bisa digolongkan sebagai tindak pidana menurut hukum pidana negara yang satu tetapi bukan merupakan tindak pidana menurut hukum negara yang lain. Demikian sanksi atau ancaman hukuman terhadap suatu jenis tindak pidana berbeda antara hukum pidana negara yang satu dengan negara lainnya. Tetapi kendala ini bisa diatasi dengan merangkum terlebih dahulu perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat digolongkan sebagai tindak pidana menurut hukum pidana seluruh negara anggota ASEAN. Kemudian menentukan tindak pidana yang mana saja yang disepakati sebagai dasar untuk meminta penyerahannya.
Kendala lainnya adalah situasi dan kondisi politik masing-masing negara anggota ASEAN yang relatif berbeda. Salah satunya adalah belum stabilnya situasi politik di Myanmar yang terkenal sebagai negara yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia, dengan masih ditahannya pejuang HAM Myanmar Aung San Suu Kyi oleh pemerintahan junta militer disana. Selain itu juga isu penggulingan presiden Philipina Gloria Macapagal Arroyo yang dianggap melakukan manipulasi hasil pemilihan umum tahun 2004 yang kembali mengangkat dirinya sebagai presiden. Arroyo diindikasikan melakukan penyuapan terhadap pejabat komisi pemilihan umum dan kasusnya masih diselidiki hingga sekarang. Perbedaan situasi dan kondisi politik nasional ini tentu akan berpengaruh terhadap usaha untuk mencapai kesepakatan tentang substansi dan ruang lingkup dari konvensi ekstradisi itu nantinya.
Yang perlu ditekankan dari pembentukan konvensi ekstradisi ASEAN ini adalah kemauan dan keseriusan dari negara-negara anggota ASEAN untuk mencegah dan memberantas segala macam tindak pidana atau kejahatan-kejahatan dalam ruang lingkup regional Asia Tenggara, dengan bersungguh-sungguh untuk menindak setiap pelaku kejahatan dengan aturan hukum yang telah terdapat dalam hukum nasional masing-masing negara maupun berdasarkan konvensi-konvensi internasional lain yang telah disepakati bersama. Tanpa adanya kesungguhan dari negara-negara ASEAN, kejahatan yang bersifat internasional maupun transnasional tetap akan berkembang secara pesat dan merupakan momok utama dalam menciptakan kestabilan hukum di lingkungan ASEAN.
Walaupun ekstradisi bukan penyelesaian mutlak terhadap pemberantasan tindak pidana tersebut, ekstradisi bisa dilihat sebagai salah satu sarana untuk mencegah terjadinya kejahatan-kejahatan yang bersifat transnasional. Sebab disitu terdapat kepastian hukum yang melibatkan kerjasama negara-negara agar pelaku-pelaku tindak kejahatan itu bisa dihukum sesuai dengan aturan yang berlaku.

Bentuk Konvensi Ektradisi
Majelis Umum PBB pada tanggal 14 Desember 1990 dengan suara bulat telah menyetujui Resolusi Nomor 45/116 tentang Model Treaty on Extradition (Model Perjanjian tentang Ekstradisi) yang bisa dijadikan acuan atau referensi dalam membentuk perjanjian-perjanjian bilateral tentang ekstradisi maupun konvensi ekstradisi ASEAN. Jika ditinjau secara luas isinya Model Treaty ini pada prinsipnya tidak jauh berbeda dari perjanjian-perjanjian ekstradisi pada umumnya, didalamnya terdapat ketentuan-ketentuan yang sudah berlaku umum. Misalnya ketentuan tentng kewajiban untuk mengekstradisikan, penahanan sementara, penyerahan orang yang diminta, penyerahan yang ditunda atau yang bersyarat, penyerahan barang, aturan kekhususan, singgah (transit), dan ketentuan akhir.[16]
Model Treaty ini merupakan acuan terbaik untuk membentuk konvensi ekstradisi ASEAN, karena didalamnya terdapat pedoman-pedoman untuk membantu negara-negara anggota ASEAN dalam merundingkan apa saja yang harus disepakati dalam konvensi tersebut. Selain itu negara-negara yang telah memiliki perundangan-undangan ekstradisi dalam hukum nasionalnya juga bisa memperbaharui Undang-Undang Ekstradisinya sesuai dengan isi dan jiwa Model Treaty ini.

Modalitas Pembentukan Konvensi Ekstradisi
Dalam Declaration Of ASEAN Concord di Bali 24 Februari 1976 (Bali Concord I), 5 negara pendiri ASEAN telah menyepakati rencana-rencana kerja dalam lingkup kerjasama ASEAN dan salah satu pointnya dalam bidang politik berupa ”Study on how to develop judicial cooperation including the possibility of an ASEAN Extradition Treaty”. [17] Kemudian dalam forum ASEAN Ministerial Meeting (AMM) di Vientiane, Laos, 29 November 2004, telah disepakati ASEAN Security Community Plan Of Action, yang didalamnya terdapat penegasan kembali mengenai keinginan negara-negara anggota ASEAN untuk membentuk sebuah Perjanjian Ekstradisi ASEAN dengan rencana kerja ”Identification of ASEAN political decisions to establish Extradition Treaty and bilateral Extradition Treaties between ASEAN Member Countries; and Establishment of a working group on ASEAN Extradition Treaty under the purview of ASEAN Senior Law Officials Meeting (ASLOM).”[18] Dari dua rencana kerja tersebut perlu digaris bawahi bahwa tugas kelompok kerja yang dibentuk untuk menyusun perjanjian ekstradisi ASEAN cukup berat mengingat perbedaan sistem hukum di masing-masing negara ASEAN, tetapi ini merupakan tantangan yang harus ditempuh demi terciptanya sebuah sistem hukum di ASEAN.
Setelah disetujuinya ASEAN Security Community (ASC) sebagai salah satu pilar ASEAN Community 2020, kita harus menunggu peran ASEAN Senior Law Officials Meeting (ASLOM), ASEAN Law Association (ALA), atau forum ASEAN Law Ministerial Meeting (ALAWMM) yang telah dibentuk sejak tahun 1986 untuk mempelajari dan mengidentifikasikan sistem hukum di masing-masing negara ASEAN agar bisa diselaraskan menjadi sebuah kaidah hukum internasional yang bersifat regional dan menjadi dasar untuk pembentukan perjanjian ekstradisi ASEAN, selama jangka waktu sampai sebelum tahun 2020.
Perjanjian ini merupakan sarana efektif bagi negara-negara anggota ASEAN untuk mewujudkan kestabilan hukum dan keamanan kelak. Jika perjanjian ekstradisi ini terbentuk, merupakan sebuah kredit point yang sangat berharga bagi kemajuan kerjasama antara negara-negara anggota ASEAN dalam mendukung terciptanya komunitas ASEAN di tahun 2020.








Daftar Pustaka

- Charles G. Fenwick, International Law, Fourth Edition, 1971
- Christopher L. Blakesley, Terrorism, Drugs, International Law, and the Protection of Human Liberty, Transnational Publisher, New York
- D. W. Greig, International Law, Second Edition, Butterworths, London, 1976
- G. I. Tunkin, International Law, A Textbook, Progress Publishers, Moscow, 1986
- I Wayan Parthiana, Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1990
- I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, Yrama Widya, Bandung, 2004
- Mohd. Burhan Tsani, Hukum dan Hubungan Internasional, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1990

- ASEAN Political Documents, ASEAN Secretariat, 2003
- ASEAN Documents Series 2004, ASEAN Secretariat, 2005

- Sinar Harapan, Sabtu 19 November 2005

- http://http://www.mediaindonesia.co.id//
- http://http://www.antara.co.id//
- http://http://www.dephan.go.id//
- http://http://www.rnw.nl//




[1] Charles G. Fenwick, International Law, Fourth Edition, 1971, hal 388
[2] D. W. Greig, International Law, Second Edition, Butterworths, London, 1976, hal 408
[3] Mohd. Burhan Tsani, Hukum dan Hubungan Internasional, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1990,
hal 57
[4] I Wayan Parthiana, Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1990, hal 12-13
[5] Ibid hal 13-16
[6] I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, Yrama Widya, Bandung, 2004,
hal 50
[7] Charles G. Fenwick, op.cit, hal 389
[8] Christopher L. Blakesley, Terrorism, Drugs, International Law, and the Protection of Human Liberty, Transnational Publisher, New York , hal 182
[9] http://www.mediaindonesia.co.id/, akses data 12 April 2005
[10] http://www.antara.co.id/, akses data 12 April 2005
[11] http://www.dephan.go.id/, akses data 13 April 2005
[12] http://www.rnw.nl/, akses data 13 April 2005
[13] Sinar Harapan, Sabtu 19 November 2005, hal 9
[14] I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, op.cit, hal 187
[15] G. I. Tunkin, International Law, A Textbook, Progress Publishers, Moscow, 1986, hal 370
[16] Ibid hal 212
[17] Declaration Of ASEAN Concord, 24 Februari 1976, ASEAN Political Documents, ASEAN Secretariat, 2003, hal 14
[18] ASEAN Security Community Plan Of Action, Annex, ASEAN Documents Series 2004, hal 53

0 Comments:

Post a Comment

<< Home