Tuesday, February 21, 2006

PELANGGARAN HAM DI MYANMAR DAN PERUBAHAN ASEAN

Oleh : Yudha Akbar[1]

“A problem area, of course, is that human rights claims often collide with the prerogatives of sovereign states. After all, in international law the government of a sovereign state claims a right to exclusive jurisdiction over people within its territory………although politics clearly plays a role in these determinations, giving a relatively louder voice to the preferences of some states over others, at a more fundamental level is the continuing discourse that develops consensus across cultures and societies on the realization of these values in common practice…
(Mark V. Kauppi & Paul R. Viotti)




Pendahuluan
Merebaknya usulan yang dilontarkan oleh beberapa negara anggota ASEAN untuk mengkaji ulang rencana kepemimpinan Myanmar di ASEAN pada tahun 2006 secara langsung menyoroti tingkah laku penyelesaian Myanmar atas pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan pembatasan demokrasi yang terjadi di negara tersebut. Dalam merespon perkembangan demokratisasi dan penegakkan HAM di Myanmar yang cenderung lambat, ASEAN seakan terbelah menjadi 2 kubu yang memilik pandangan yang berbeda atas masalah ini. Persoalan giliran Myanmar sebagai ketua ASEAN mencuat beberapa bualan terakhir ini setelah Parlemen ASEAN (ASEAN Inter-Parliamentary Organization – AIPO) telah menyuarakan agar kursi kepemimpinan ASEAN – yang digilir melalui abjad dan akan jatuh pada Myanmar setelah giliran Malaysia pada tahun 2005 ini- dialihkan langsung ke negara berikutnya. Hal ini terkait juga dengan “ancaman” sejumlah negara maju mitra dialog ASEAN seperti Uni Eropa (UE) dan Amerika Serikat (AS) akan memboikot pertemuan-pertemuan ASEAN jika ASEAN dipimpin oleh Myanmar. Oleh karenanya, negara anggota ASEAN seperti Malaysia, Filipina, Singapura, dan Indonesia sejauh ini telah “menagih” janji Pemerintah Myanmar untuk pelaksanaan demokrasi di negara itu termasuk pembebasan Aung San Suu Kyi[2]. Namun di sisi lain, Kamboja dan Laos berargumentasi bahwa persoalan reformasi politik merupakan urusan dalam negeri Myanmar, tidak boleh dicampuri ASEAN[3]. Hal ini sesuai dengan prinsip dasar ASEAN yang mengedepankan kedaulatan nasional dan non-intervensi. Dua negara ini selanjutnya juga berpendapat bahwa argumentasi mereka atas isu Myanmar dinilai sesuai dengan tradisi ASEAN sejak didirikan tahun 1967 silam.

Pada pertemuan para menteri luar negeri ASEAN di Cebu, Filipina, 11-12 April lalu, Myanmar terlihat masih belum memberikan tanda-tanda positif akan perkembangan demokratisasi terlebih lagi pembebasan Suu Kyi. Memang secara resmi keputusan mengenai apakah Myanmar akan menjadi ketua bergilir ASEAN pada tahun 2006 harus sudah diindikasikan pada KTT ASEAN ke-11 di Malaysia, Desember 2005 ini. Namun sangatlah wajar harapan negara-negara ASEAN akan kepastian Myanmar untuk melakukan perubahan politik domestiknya atau merelakan jabatan ketua ASEAN 2006. Tulisan ini mencoba menganalisa permasalahan Myanmar terutama dalam penegakkan HAM dan kaitannya dengan perubahan yang terjadi di ASEAN.

HAM Sebagai Isu Hubungan Internasional
Minimnya perkembanagan politik di Myanmar, khususnya dalam pelaksanaan Peta Menuju Demokrasi (Map To Democracy)[4] negara itu, dan kenyataan belum dibebaskannya peraih Nobel Aung San Suu Kyi menjelaskan telah terjadi perampasan hak-hak asasi rakyat Myanmar secara umumnya dan kebebasan seorang individu bernama Suu Kyi secara khususnya. Penegakkan demokrasi dan HAM pasca runtuhnya Uni Soviet yang secara otomatis mengakhiri perang dingin antara Barat yang bercirikan liberal kapitalis dengan Timur yang berlabelkan sosialis komunis, telah mendominasi perkembangan hubungan internasional kontempporer. Dewasa ini, dunia internasional sangat peduli dengan penegakkan HAM dan demokrasi di setiap pelosok planet ini. Labelisasi suatu bangsa beradab sekarang ini diindikasikan seberapa besar bangsa tersebut dapat menegakkan HAM dan demokrasi.

Khusus soal HAM, HAM adalah sebutan yang diberikan kapada hak elementer yang dipandang mutlak perlu bagi perkembangan individu. HAM yang bagi sebagian pemerhati hubungan internasional dianggap sebagai sebuah produk politik yang dilahirkan oleh Barat, pada perkembangannya semakin menancapkan “kuku” universalitasnya yang akhirnya menjadi suatu isu yang marak didengungkan baik oleh negara maju maupun negara yang sedang berkembang. Maurice Cranston di dalam buku Peter R. Baehr yaitu Hak-Hak Asasi manusia Dalam Politik Luar Negeri, menjelaskan bahwa “hak-hak asasi manusia adalah sesuatu yang melekat pada semua orang setiap saat”. Seiring dengan apa yang disampaikan oleh Cranston, Hedley Bull menyatakan bahwa “hak-hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada diri manusia itu saja, bukan melekat pada golongan manusia ini atau itu. Hak asasi manusia dipandang dimiliki oleh segenap manusia, dimiliki hanya oleh manusia, dan dimiliki oleh semua manusia secara adil”[5]. Konsep HAM tersebut diatas menjelaskan HAM telah menjadi sebuah syarat dasar akan terciptanya suatu komunitas global yang beradab. Selanjutnya dalam konteks sejarah, ada beberapa naskah yang secara berangsur –angsur menetapkan bahwa ada beberapa hak yang mendasari kehidupan manusia dan karena itu bersifat universal dan asasi. Naskah tersebut adalah sebagai berikut;

1. Magna Charta (Piagam Agung, 1215)
Suatu dokumen yang mencatat beberapa hak yang diberikan oleh Raja John dari Inggris kepada beberapa bangsawan bawahannya atas tuntutan mereka. Naskah ini sekaligus membatasi kekuasaan Raja John itu.

2. Bill of Rights (Undang-undang hak, 1689)
Suatu UU yang diterima oleh Parlemen Inggris sesudah berhasil pada tahun sebelumnya mengadakan perlawanan terhadap Raja James II dalam suatu revolusi tidak berdarah (The Glorious Revolution of 1688).

3. Declaration des Droits de L’homme et du Citoyen (Pernyataan hak-hak manusia dan warga negara, 1789)
Suatu naskah yang dicetuskan pada permulaan revolusi Perancis.

4. Bill of Rights (Undang-undang hak)
Suatu naskah yang disusun oleh rakyat Amerika pada tahun 1789 dan menjadi bagian dari Undang Undang Dasar pada tahun1791[6].

Pada Perang Dunia II ,pemimpin AS, Presiden Franklin Delano Roosevelt mengumandangkan 4 fondasi dasar HAM yang dikenal dengan istilah The Four Freedoms (empat kebebasan)[7], yaitu ;
1. Kebebasan untuk berbicara dan menyatakan pendapat (Freedom of Speech).
2. Kebebasan beragama (Freedom of Religion).
3. Kebebasan dari ketakutan (Freedom from Fear).
4. Kebebasan dari kemelaratan (Freedom from Want).

HAM ternyata tidak didominasi oleh pemikiran Barat, hal ini terbukti dengan tonggak sejarah dan politik Islam mengenai HAM yang berawal dari Konstitusi Madinah atau Piagam Madinah (624 M) yang bertujuan untuk menyatukan warga yang majemuk baik karena perbedaan etnik (Yahudi dan kelompok-kelompok Arab), perbedaan agama (Yahudi, Nasrani dan Islam) maupun perbedaan kebudayaan. Isi piagam tersebut antara lain, perlindungan kebebasan agama dan beribadah (pasal 25 dan 30), kedudukan yang sama sebagai anggota masyarakat dan larangan perbuatan buruk terhadap orang (pasal 16), persamaan hak dan kewajiban yang sama (pasal 29,33, dan 44), dan persamaan di depan hukum (pasal 34, 36, dan 44)[8]. Dengan demikian semakin jelas bahwa HAM merupakan milik seluruh kebudayaan dan bangsa.

Setelah berakhirnya Perang Dunia II, pada tahun 1948 negara-negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB) menyepakati suatu Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration on Human Rights) yang mengikat seluruh negara anggota-anggotanya. Meskipun mencantumkan hak-hak sipil dan politik, serta hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, deklarasi universal tentang HAM ini tidak dimaksudkan untuk menciptakan kewajiban yang mengikat negara-negara anggotanya secara hukum. “Mengikat secara hukum” disini membawa konsekwensi bahwa hak tersebut bukan hanya merupakan hukum positif yang harus dilaksanakan, namun juga adanya lembaga dan mekanisme tertentu yang akan mengontrol pelaksanannya[9]. Hal ini yang menyebabkan pada tahun 1966 PBB harus mengeluarkan instrumen-instrumen yang lebih bersifat mengikat, yaitu Konvensi Internasional Mengenai Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights / ICCPR) dan Konvensi Internasional Mengenai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social dan Cultural Rights / ICESCR). Kedua konvensi ini diberlakukan efektif pada tahun 1976 dan menimbulkan kewajiban yang mengikat secara hukum bagi negara-negara yang meratifikasinya.

Dinamika Politik Domestik dan Penegakkan HAM di Myanmar
Myanmar adalah sebuah negara yang pernah diperintah oleh Inggris selama 62 tahun (1824-1886) dan kemudian dimasukkan ke dalam kerajaan India. Birma selanjutnya berada di bawah administrasi India sebagai salah satu provinsinya hingga tahun 1937 dimana Birma menjadi suatu negara yang terpisah dan mempunyai pemerintahan sendiri. Kemerdekaan pun diraih dan merupakan keberhasilan berpisah dari negara persemakmuran (commonwealth) pada tahun 1948[10]. Tepatnya pada 4 Januari 1948 Uni Birma (nama ini kemudian dirubah menjadi Myanmar pada 1989 oleh pemerintahan militer[11]) meraih kemerdekaan yang mengakhiri kekuasaan Inggris selama kurun waktu 60 tahun. Perjuangan untuk kemerdekaan telah dipelopori oleh Liga Kemerdekaan Rakyat Antifasis (The Anti-Facist People’s freedom League - AFPEL), dibawah kepemimipinan Aung San dan U Nu. AFPEL berhasil memenangkan pemilihan umum dengan suara mayoritas pada bulan April 1947. Namun, pada Juli 1947 Aung Sang terbunuh[12], dan kemudian digantikan oleh U Nu yang diangkat menjadi Perdana Menteri setelah Birma meraih kemerdekaan. AFPEL kemudian memenangkan dua pemilihan umum berikutnya dan Myanmar menikmati 12 tahun kepemimpinan di bawah pemerintahan yang demokratis – namun sempat diselingi oleh dua tahun diperintah oleh pemerintahan militer sementara yang dipimpin oleh Kepala Staf Angkatan Darat, Jendral Ne Win. Meskipun demikian, pada Maret 1962, Jendral Ne Win melakukan kudeta untuk menggantikan pemerintahan yang dijalankan oleh Dewan Militer Revolusioner. Kondisi ini menghantarkan Myanmar masuk ke dalam era pemerintahan militer yang otoriter yang hingga kini masih berkuasa. Pada 1972, dimana ketidakpuasan rakyat Myanmar terhadap pemerintah meningkat tinggi, Jenderal Ne Win dan komandan seniornya pensiun dari angkatan darat tetapi masih tetap mengontrol jalannya pemerintahan. Dalam upaya untuk mencari arah kehidupan yang baru, pada 1974 lahir sebuah konstitusi yang mendeklarasikan bahwa Myanmar menjadi negara sosialis dengan sistem satu partai yang dipimpin oleh partai yang dimiliki oleh militer dengan nama Partai Program Sosialis Birma (The Military’s Burma Socialist Programme Party /BSPP atau Partai Lanzin). BSPP mengusung sebuah konsep yang disebut Cara Birma Menuju Sosialisme (Burmese Way to Socialism) dimana elemen utamanya adalah pemenuhan ekonomi secara mandiri. Myanmar kemudian menutup diri terhadap pengaruh dunia yang akhirnya menyebabkan terjadinya stagnasi ekonomi[13].

Pada Oktober 1987, dimana kondisi perekonomian Myanmar menjadi semakin buruk, mahasiswa-mahasiswa melakukan demonstrasi yang diadakan di ibukota Myanmar, Yangoon. Demonstrasi ini dianggap sebagai sebuah pesan yang hendak disampaikan kepada para penguasa militer bahwa perubahan adalah suatu keharusan sejarah. Penyebaran aksi protes di mulai pada Maret 1988 yang meningkat eskalasinya dibawah kepemimpinan Aung San Suu Kyi[14], anak dari pemimpin kemerdekaan Myanmar, Aung San. Pada Juli 1988, Jenderal Ne Win mengundurkan diri sebagai pemimpin BSPP dan selanjutnya digantikan oleh Jenderal Sein Lwin namun kekuatan demonstran semakin menguat hingga pada 8 Agustus 1988 terjadi penyerangan dimana para pasukan diperintahkan untuk melakukan pembantaian terhadap para demonstran yang sama sekali tidak bersenjata. Kejadian itu diperkirakan telah membunuh ribuan rakyat sipil dan melukai ribuan lainnya. Demonstrasi pun berlanjut, para demonstran memaksa Jenderal Sein Lwin mengundurkan diri dalam waktu beberapa minggu. Penerusnya seorang warga sipil bernama Maung Maung-namun Jenderal Ne Win masih mengatur di balik layar- yang hanya memerintah kurang dari satu bulan dan berhasil merencanakan sebuah pemilihan umum multipartai. Lagi-lagi pada 18 September 1988, militer dibawah kepemimpinan Jederal Saw Maung merampas kekuasaan dan kekuasaan militer tersebut kemudian membentuk sebuah dewan militer yang diberi nama Dewan Hukum Negara dan Restorasi Orde (The State law and Order Restoration Council/ SLORC-yang disebut Junta militer oleh komunitas internasional) untuk memimpin negara. Lebih jauh Junta membubarkan orde sosialis satu partai dan berjanji akan memenuhi permintaan demonstran yang menginginkan diadakan pemilihan umum. Selanjutnya lebih dari 200 partai mendaftarkan diri untuk mengikuti pemilihan umum yang dilaksanakan pada Mei 1990. Partai yang diprediksikan akan memenangkan pemilu adalah Partai Kesatuan Nasional (The National Unity Party/NUP yang merupakan pembaharuan dari BSPP), Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (The National League for Democracy / NLD yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi) dan beberapa partai-partai utama berbasis suku. Meskipun pada saat itu Aung San Suu Kyi dikenakan sanksi tahanan rumah, hasil pemilu menunjukkan kemenangan bagi partainya yang berhasil meraih 80 % suara. Hal ini memungkinkan NLD meraih 392 kursi dari 485 yang tersedia di parlemen, sedangkan partai pro-Junta (NUP) hanya mendapatkan 10 kursi. Meskipun demikian Junta menolak untuk menerima hasil pemilu tersebut dan tetap memimpin parlemen serta memegang kekuasaan hingga sekarang. Jenderal Senior Than Shwe seorang komandan angkatan darat meneruskan kepemimpinan Jenderal Saw Maung sebagai ketua Dewan Pemerintahan Junta di tahun 1992. Pada Nopember 1997 Junta melakukan pergantian kepengurusan dan mengganti nama menjadi Dewan Perdamaian dan Pembangunan Negara (The State Peace and Development Council / SPDC) namun tidak ada perubahan kebijakan yang berarti selain terdapat sebuah struktur pemerintahan tambahan yang dipimpin oleh seorang Perdana Menteri tetapi pemerintah tetap diisi oleh para personil militer secara langsung sehingga tidak dapat memberikan pengawasan dari berlangsungnya kekuasaan yang dijalankan oleh dewan militer berkuasa[15]. Konsepsi Myanmar terhadap keamanan domestik yang berlebihan yang akhirnya menjadikan penguatan rejim, kesatuan nasional dan kepatuhan hukum sebagai fokus dari aktivitas keseharian penguasa militer tersebut[16]. Hal ini berdampak terhadap penempatan perwira-perwira militer ke dalam semua jabatan strategis di Myanmar.

Dalam hal melakukan tindakan represif kepada para lawan politiknya, junta militer tidak segan-segan untuk melakukan tindak kekerasan terhadap mereka diantaranya adalah melakukan penganiayan fisik dan mental, menangkap dan bahkan mengasingkan mereka dari keluarga dan orang-orang terdekat. Hal ini juga yang dialami oleh pejuang demokrasi dan HAM Aung San Suu Kyi yang ditangkap oleh penguasa militer pada tanggal 20 Juli 1989 dan kemudian dikenakan tahanan rumah di Yangoon meski akhirnya dilepaskan pada tanggal 10 Juli 1995. Pada tahun 2002 dan awal 2003 para pendukung Aung San Suu Kyi selalu memenuhi tempat dimana Aung San Suu Kyi berada dan memberikan orasi politiknya dan hal ini dilakukannya dengan berkunjung ke hampir setiap pelosok Myanmar. Kondisi yang menggembirakan bagi perkembangan demokrasi di Myanmar ini jelas membuat Junta militer yang berkuasa khawatir dengan menguatnya pengaruh Aung San Suu Kyi di kalangan para penduduk Myanmar dan sekaligus memberikan sinyal kepada Junta bahwa harus dilakukan langkah-langkah strategis guna menahan laju kepopuleran Aung San Suu Kyi. Dalam tujuan itu, akhirnya pada akhir Mei 2003, iring-iringin mobil Suu Kyi dan pendukungnya yang sedang melakukan tur politik ke daerah utara Myanmar, secara membabi buta dikepung dan diserang oleh sekelompok orang yang diyakini merupakan suruhan junta yang berkuasa. Kejadian itu belum dapat dipastikan apakah merupakan percobaan pembunuhan terhadap Suu Kyi atau tidak namun menyebabkan beberapa simpatisan NLD terbunuh. SPDC menyebutkan bahwa “hanya” 4 orang simpatisan NLD saja yang terbunuh dan melukai 50 orang lainnya. Meskipun demikian laporan tentang peristiwa itu juga diterbitkan oleh para kelompok oposisi yang mengatakan bahwa sedikitnya 70 orang simpatisan NLD tewas dan puluhan lainnya terluka. Aung San Suu Kyi sendiri setelah peristiwa tersebut kembali dimasukan ke penjara oleh junta berkuasa dan sekurang-kurangnya 70 simpatisan NLD termasuk para pemimpin seniornya di tangkap. Seiring dengan dinamika politik yang berkembang, memang ada beberapa tahanan tersebut telah dibebaskan namun Suu Kyi dan wakilnya di NLD yaitu Tin Oo hanya dipindahkan statusnya dari tahanan penjara menjadi tahanan rumah. Hal ini yang hingga hari ini masih menjadi kekhawatiran internasional terkait dengan suramnya perkembangan politik domestik terkait dengan penegakkan demokrasi dan HAM di Myanmmar serta kemungkinan dibebaskannya Suu Kyi beserta para simpatisan dan pemimpin NLD lainnya. Pelanggaran HAM yang telah dilakukan oleh junta militer ini terkait dengan beberapa hal antara lain adalah penolakan junta untuk menerima hasil pemilu 1990 yang seharusnya mengantarkan Suu Kyi ke puncak kekuasaan sipil Myanmar, dapat diartikan sebagai pelanggaran HAM oleh junta atas Suu Kyi terkait dengan pasal 21 ayat 1, Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia 1948 (DUHAM) dimana pasal ini menjelaskan bahwa setiap orang berhak berperan serta dalam pemerintahan negaranya. Selanjutnya penahanan yang dilakukan junta terhadap Suu Kyi yang bahkan dilengkapi dengan pengisolasian atas dirinya untuk tidak menemui keluarga maupun kerabatnya merupakan suatu bentuk pelanggaran HAM yang mengacu kepada pasal 9 DUHAM yang menjabarkan bahwa tak seorang pun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang dengan sewenang-wenang. Seiring dengan pasal 9, ada pasal lain yakni pasal 5 yang bisa digunakan sabagai dasar hukum atas pelanggaran HAM oleh junta terhadap Suu Kyi karena pasal ini menjelaskan bahwa tak seorang pun boleh dianiaya atau diperlakukan dengan kejam, tak berprikemanusiaan atau yang merendahkan martabat manusia. Ini sesuai dengan perlakuan junta yang mengisolasi Suu Kyi serta kondisinya dalam tahanan. Fakta ini seperti yang disampaikan oleh 2 orang wanita aktivis prodemokrasi Myanmar yang pada akhir Mei 2005 berkunjung ke Jakarta yakni Daw San San dan Khin Omar[17]. Mereka mengatakan bahwa Suu Kyi di dalam tahanan dijaga ketat tanpa kontak dengan siapa pun di luar rumah dan jika ia jatuh sakit, ia harus mengajukan permohonan untuk diperiksa dokter namun itupun bukan jaminan akan perawatan yang baik.

Upaya ASEAN Dalam Menyelesaikan Masalah Myanmar
Dikaitkan dengan keberadaannya sebagai salah satu negara ASEAN sejak tahun 1997, Myanmar hingga kini semakin terlihat berpengaruh pada pergeseran pola hubungan ASEAN yang selama ini sarat dengan nilai-nilai penghormatan terhadap integritas kedaulatan, penyelesaian masalah melalui musyawarah dan konsensus serta prinsip non-intervensi. Pembicaraan isu-isu seputar hubungan negara-negara ASEAN yang sebelumnya selalu diwarnai dengan pengkondisian swept under the carpet terlihat sedikit bergeser dengan maraknya diskusi terbuka oleh para pengambil kebijakan di ASEAN dalam membahas perkembangan politik domestik di Myamar. Myanmar saat ini seakan dijadikan sebuah persimpangan bagi ASEAN untuk memilih apakah asosiasi regional ini akan terus berpegang pada prinsip-prinsip dasarnya atau mencari alternatif prinsip-prinsip dalam proses pencarian solusi bagi masalah dan perubahan-perubahan kontemporer yang timbul di kawasan. Sebut saja prinsip non-intervensi, prinsip ini dianut oleh ASEAN sejak awal pendiriannya sebagai sebuah strategi “penyatuan” negara-negara Asia Tenggara yang pada dasarnya memiliki masalah domestik yang bervariasi mengingat hampir semua negara anggota ASEAN adalah bekas daerah jajahan yang memiliki warisan potensi konflik yang tidak sedikit seperti konflik etnis, agama, ideologi politik serta kesenjangan sosial dan ekonomi. Terlebih lagi dengan prakondisi lahirnya ASEAN yang diwarnai dengan bongkar pasang beberapa asosiasi antar tiga negara seperti Association of Southeast Asia (ASA) yang beranggotakan Malaysia, Thailand dan Filipina pada tanggal 31 Juli 1961 dan MAPHILINDO pada tanggal 5 April 1963 yang anggotanya adalah Malaysia, Filipina dan Indonesia[18], keduanya bubar di tengah jalan karena alasan ketidakharmonisan serta kecurigaan yang timbul diantara anggotanya. Prakondisi ini melahirkan prinsip ASEAN yakni penghormatan atas integritas kedaulatan masing-masing negara. Namun di lain sisi kita tidak dapat memungkiri bahwa prinsip-prinsip tersebut telah berhasil dengan baik menjaga perdamaian di kawasan Asia Tenggara dimana sejak berdirinya ASEAN hingga kini belum pernah sekalipun terjadi perang terbuka di antara negara-negara ASEAN sehingga berhasil membatalkan anggapan bahwa akan terjadi balkanisasi Asia di Asia tenggara. Inilah yang akhirnya menyimpulkan bahwa ASEAN hingga saat ini berhasil menjadi Peacemaker kawasan dan menciptakan kondisi yang relatif aman bagi pertumbuhan ekonomi.
Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana peran ASEAN dalam menyelesaikan masalah politik domestik Myanmar? Ada baiknya ASEAN mulai mempertimbangkan penyesuaian prinsip-prinsip dasar yang mereka anut tersebut. Hal ini tidak berarti akan adanya penghapusan atas prinsip-prinsip tersebut, namun harus ada gagasan dan komitmen bahwa implementasi prinsip tersebut disesuaikan dengan kebutuhan ASEAN dalam mencapai visinya yakni terbentuknya komunitas ASEAN 2020 yang ditopang oleh tiga pilar yakni ASEAN Economic community (AEC), ASEAN Security Community (ASC), dan ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC)[19]. Ini memberi arti bahwa ada kemungkinan negara-negara ASEAN memiliki andil yang tepat dann terukur untuk berperan mencari solusi bersama atas pelanggaran HAM dan demokrasi di Myanmar. Ini pun dilakukan dengan mekanisme dan koridor yang jelas sehingga penguasa Myanmar tidak merasa dijadikan “tersangka” yang layak untuk dijatuhi hukuman. Dalam mendukung hal ini, ASEAN harus segera membuat mekanisme penegakkan HAM yang didukung oleh legitimasi pemerintah masing-masing negara anggota mengingat ASEAN dikenal sebagai asosiasi regional yang didominasi oleh peran state actors. Apalagi jika ASEAN juga mampu merumuskan suatu ASEAN Charter sebagai suatu landasan hukum atas langkah apa yang harus diambil dalam pencarian solusi tersebut.

Dalam upaya untuk merealisasikan keberadaan sebuah deklarasi HAM di ASEAN perlunya melihat perkembangan penegakkan di belahan dunia lainnya sebagai bahan komparasi. Di Eropa, pada awalnya tidak memuat rujukan khusus kepada HAM karena tidak termasuk bidang utama kegiatan Masyarakat Eropa (European Community) pada waktu itu. Namun pada tahun-tahun berikutnya terdapat perkembangan yang signifikan yakni diantaranya langkah awal yang diambil oleh Eropa yaitu disetujuinya Deklarasi Bersama Tentang Perlindungan Kebebasan Fundamental pada tahun 1977 oleh Komisi Eropa yaitu Dewan Menteri dan Parlemen Eropa. Di dalam deklarasi tersebut ditekankan pentingnya perlindungan hak fundamental yang secara khusus berasal dari undang-undang dasar semua negara anggota dan Konvensi Eropa bagi Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia dan Kebebabsan Fundamental[20]. Sedangkan negara-negara Amerika, telah disetujui Piagam Organisasi Negara-Negara Amerika (OAS), bersama dengan Deklarasi Amerika Tentang Hak dan Kewajiban Manusia sebagai suatu perangkat standar dalam penegakkan HAM. Selanjutnya berturut-turut pada tahun 1959 dibentuk Komisi Amerika Tentang HAM dan tahun 1969, ditandatangani Konvensi Amerika Tentang HAM yang melahirkan pengadilan antar negara Amerika tentang HAM. Pengawasan atas implementasi ketentuan piagam OAS dan deklarasi Amerika tentang HAM dan kewajiban manusia dilakukan oleh Komisi Antar-Negara Amerika dan Pengadilan Antar Negara Amerika[21]. Di Afrika, Piagam hak-hak Asasi Manusia dan Hak Rakyat Afrika disetujui oleh Organisasi Kesatuan Afrika (OAU) pada tahun 1981 dan mulai berlaku pada tahun 1986 yang didalamnya terdapat bermacam-macam hak rakyat Afrika diantaranya adalah untuk menentukan nasib sendiri, hak atas pembangunan, hak-hak ekonomi, dll. Namun Afrika tidak menetapkan suatu pengadilan HAM, tidak seperti Eropa dan negara-negara Amerika yang memiliki pengadilan tersebut. Ketiadaan pengadilan semacam ini mengandung arti bahwa bagi Afrika putusan akhir diserahkan kepada para kepala negara dan kepala pemrintahan sehingga kemungkinan lebih didominasi oleh kepentingan politik daripada kepentingan peradilan[22].

Pemaparan perkembangan penegakkan HAM di beberapa kawasan tadi selayaknya diartikan ASEAN sebagai bentuk peluang dan tantangan bagi terbentuknya deklarasi HAM ASEAN yang selanjutnya diselaraskan dengan rencana pencapaian Komunitas ASEAN 2020 dimana penegakkan HAM kawasan merupakan bagian dari kerjasama politik dan keamanan yang pada gilirannya akan menciptakan ASEAN yang lebih demokratis dan harmonis. Sedangkan mekanisme kongkrit dari penegakkan HAM tersebut, ASEAN nantinya dapat memilih apakah akan mengikuti “gaya cepat” negara-negara Eropa dan Amerika yakni membuat deklarasi dan pengadilannya secara sekaligus atau seperti negara-negara Afrika yang hanya baru memiliki deklarasi namun belum memiliki pengadilan HAM. Pilihan yang kedua kelihatannya akan terkesan sia-sia karena kepentingan dan pertimbangan politik akan dominan ketimbang kepentingan hukum dan peradilan, apalagi penyelesaian akhirnya diserahkan kembali ke negara masing-masing. Akan tetapi sebenarnya pola inilah yang bisa dilakukan terkait dengan kelonggaran dan fleksibilitas ASEAN dimana pada awalnya akan terbentuk deklarasi sehingga memungkinkan terjadinya penguatan kolektif bagi penegakkan HAM namun disisi lain ASEAN tetap menghormati kedaulatan masing-masing negara anggota seperti pesan yang disampaikan oleh Declaration of ASEAN Concord II (Bali Concord II) pada tanggal 7 Oktober 2003, “…ASEAN shall continue to promote regional solidarity and cooperation. Member countries shall exercise their rights to lead their national existence free from outside interference in their internal affairs”[23]. Selanjutnya jika kedewasaan politik negara-negara ASEAN telah mencapai pada tahap yang lebih mapan, maka tidak menutup kemungkinan pengadilan HAM tersebut akan terbentuk.

Kesimpulan

Masalah politik domestik terutama pelanggaran HAM yang terjadi di Myanmar menghadirkan “sentuhan” isu yang bisa menjadi potensi konflik di ASEAN seperti isu kepemimpinan bergilir, intervensi masalah domestik, hingga perbedaan posisi pandang antara negara-negara ASEAN 6 dan CLMV (Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam) atas masalah Myanmar diharapkan dapat dicarikan solusi oleh ASEAN sendiri baik yang bersifat strategis mendesak dan komprehensif jangka panjang. Peninjauan kembali prinsip-prinsip dasar ASEAN dalam kaitannya mempersiapkan Komunitas ASEAN 2020, pengembangan diskursus tentang ASEAN Charter, hingga pembuatan deklarasi HAM ASEAN berikut makanisme implementasinya merupakan suatu bentuk perubahan ke arah yang diharapkan lebih baik bagi ASEAN. Dialektik kepemimpinan nasional antara Junta militer dan sipil-prodemokrasi di Myanmar sebenarnya bukanlah satu-satunya yang terjadi di ASEAN mengingat Political Development Gap diantara negara-negara anggota ASEAN sangat besar. Oleh karenanya, penyelesaian masalah Myanmar akan menjadi tantangan sekaligus peluang bagi ASEAN yang berkeinginan untuk mewujudkan suatu Komunitas ASEAN 2020. ASEAN perlu melakukan penyesuaian dan perubahan seiring zaman yang menuntut perubahan agar asosiasi regional ini akan lebih mapan dan dewasa serta menjadi penentu arah bagi perkembangan kekuatan kolektivitas di dalam hubungan internasional yang unipolar saat ini.

Daftar Pustaka

Buku
Alagappa, Muthiah (1998): “Asian Security Practice-material and Ideational Influences”, Stanford University Press, California.
Baehr, Peter R (1998): “Hak-Hak Aasi Manusia Dalam Politik Luar negeri”, Yayasan Obor, Jakarta.
Budiardjo, Miriam (2000): “Dasar-dasar Ilmu Politik”, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Kleden, Anzis (1993): “Aung San Suu Kyi-Bebas dari Ketakutan”, PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.
Steinberg, David I (1982): “Burma;A Socialist nation of Southeast Asia”, Colorado Westview


Jurnal
Country Profile 2004 of Myanmar (Burma), Economist Intelligence Unit, 15 Regent St. London S W1Y4LR, United Kingdom.
Global – Jurnal Politik Internasional – No.1, September 2000 .
Jurnal hukum Ius Quia Iustum – No.15, Vol.7- 2000.
Spektrum-Jurnal ISIP – Vol.1, No.3, Juli 2004.


Dokumen
ASEAN Political Documents, 2003, ASEAN Secretariat.
ASEAN Annual Report 2003-2004, ASEAN Secretariat.


Koran
Kompas, Sabtu, 2 April 2005.
Kompas, kamis, 7 April 2005.


Website
www.cia.gov/cia/publications/factbook/geos/bm.html#Intro



[1] Direktur Eksekutif Center for ASEAN Studies (CAS) dan mahasiswa Universitas Nasional.
[2] Kompas, “Para Menlu ASEAN Akan Bahas Myanmar di Cebu”, Kamis, 7 April 2005.Hlm 2.
[3] Kompas, “ASEAN Tidak Kompak Menekan Myanmar”, Sabtu, 2 April 2005. Hlm 4.
[4] Terdapat 7 tahapan menuju demokrasi yang digagas oleh Khin Nyunt, yaitu : 1) Menghidupkan kembali Konvensi Nasional yang dihentikan sejak 1966, 2) Setelah berhasil menyelenggarakan Konvensi Nasional, setahap demi setahap, Myanmar melaksanakan proses yang diperlukan untuk kelahiran sebuah sistem demokrasi yang disiplin, 3) Menyusun sebuah konstitusi baru yang sesuai dengan prinsip-prinsip dasar yang disusun pada Konvensi Nasional, 4) Mengadopsi konstitusi lewat referendum nasional, 5) Menyelenggarakan pemilu yang bebas dan fair untuk memilih parlemen (Pyithu Hluttaws) berdasarkan undang-undang, 6) Melangsungkan pertemuan Hluttaws sesuai dengan mandat konstitusi baru, dan 7) Membangun sebuah negara modern, maju, dan demokratis dengan kehadiran para pemimpin negara yang dipilih Hluttaws; dan terbentuknya badan pemerintahan oleh Hluttaws.
[5] Peter R. Baehr, “Hak-Hak Asasi manusia Dalam Politik Luar negeri”, Yayasan obor-Jakarta, 1998.Hlm 4
[6] Prof Miriam Budiardjo, “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, PT Gramedia Pustaka Utama – Jakarta, 2000. Hlm 120-
121
[7] Ibid.
[8] Nourouzzaman Shidiqi dalam Salman Luthan, “Relevansi Peradilan Pidana Internasional Bagi Perlindungan
Hak Asasi Manusia”. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum – No.15, Vol.7 – 2000. Hlm 743-75
[9] Anna Juliastuti, “ASEAN Dan Masalah Hak Asasi Manusia”, dalam Global – Jurnal Politik Internasional –
No.1 – September 2000. Hlm 43.
[10] www.cia.gov/cia/publications/factbook/geos/bm.html#Intro (19 Desember 2004/ 15:39)
[11] Lazim disebut Junta militer.
[12] Pada malam tanggal 19 Juli 1947, Aung San dan enam orang diantara para menterinya dibunuh dalam suatu
rapat kabinet oleh para penembak yang disuruh oleh seorang lawan politiknya. Lihat Anzis Kleden, “Aung
San Suu Kyi - Bebas Dari Ketakutan”, PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1993. Hlm.73
[13] Country Profile 2004 of Myanmar (Burma), Economist Intelligence Unit, 15 Regent St. London SW1Y4LR,
United Kingdom 2004. Hlm.4
[14] Aung San Suu Kyi yang lahir pada 19 Juni 1945, hanya memiliki kenangan samar-samar tentang ayahnya. Namun segala sesuatu yang dipelajarinya mengenai ayahnya membuat yakin akan keberanian ayahnya yang tidak mementingkan diri sendiri dan memiliki visi tentang Myanmar yang bebas dan demokratis. Beberapa orang berkata bahwa Suu terbius oleh citra ayahnya yang tidak pernah dikenal. Di Oxford, ia selalu memperoleh banyak sekali kumpulan buku dan makalah dalam bahasa Myanmar dan bahasa Inggris mengenai ayahnya. Agaknya tidak terhindarkan lagi, seperti ayahnya, Suu sekarang menjadi Ikon (lambang suci), harapan, dan kerinduan rakyat. Baik pada si anak maupun sang ayah, tampaknya ada koinsidensi yang luar biasa antara kata dan perbuatan.
[15] Country Profile, Op.cit.,hlm.5
[16] Muthiah Alagappa, “Asian Security Practice-Material and Ideational Influences”, Stanford University Press,
California, 1998. Hlm.390
[17] Mereka datang ke Indonesia untuk meminta dukungan politik bagi pelaksanaan demokrasi dan penghormatan
atas HAM di Myanmar. Mereka mendatangi DPR dan sejumlah tokoh berpengaruh dan para pemerhati
hubungan internasional serta khalayak umum guna menyampaikan kepentingan mereka.
[18] Nurani Chandrawati dan Bantarto Bandoro, “ASEAN, Dahulu, Kini, dan Masa Depan” dalam Spektrum-
Jurnal ISIP, Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama), Jakarta, 2004.Hlm.1
[19] ASEAN Secretariat, “ASEAN Annual Report 2003-2004”, Hlm.4
[20] Marcel Zwamborn, “Human Rights Promotion and Protection Through the External Relations of the European
Community and the Twelve”, Netherlands Quarterly of Human Rights. Vol.7, No.1, 1998.Hlm.13. Pernyataan
itu juga dikutip oleh Peter R Baehr, “Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Politik Luar negeri”, Yayasan obor-
Jakarta,1998.Hlm 113.
[21] Peter R. Baehr, “Hak-Hak Asasi manusia Dalam Politik Luar negeri”, Yayasan obor-Jakarta, 1998.Hlm 79.
[22] Peter R. Baehr, ibid.Hlm.83
[23] ASEAN Secretariat, “ASEAN Political Documents”, 2003